KOMPAS.com – Di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Balambano. Dengan kapasitas daya 110 megawatt (MW), PLTA ini memanfaatkan aliran Sungai Malarona yang airnya dipasok dari tiga danau, yakni Matano, Mahalona, dan Towuti.
Adapun mayoritas daya yang dihasilkan digunakan untuk operasional perusahaan tambang nikel milik PT Vale Indonesia. Sementara itu, sekitar 8 MW disalurkan kepada masyarakat sekitar melalui PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Kerja sama dengan PT Vale Indonesia hanyalah salah satu contoh dari upaya nyata PLN dalam memaksimalkan potensi energi hidro sebagai sumber energi bersih yang ramah lingkungan di Tanah Air.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2019-2024 Arifin Tasrif mengatakan bahwa tenaga hidro dari PLTA merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan (EBT) yang memiliki produktivitas stabil. Dengan demikian, pemanfaatannya bisa dipakai menjadi beban listrik dasar atau baseload listrik nasional.
“Tenaga hidro adalah salah satu energi terbarukan yang dapat digunakan sebagai baseload dan solusi bagi intermitensi dari variabel energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, pada jaringan listrik,” tutur Arifin sebagaimana diberitakan Kompas.com, Selasa (31/10/2024).
Sebagai informasi, energi hidro atau tenaga air merupakan sumber energi yang diperoleh dari kekuatan aliran air yang mampu menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik. Di tengah upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan ketergantungan pada energi fosil, energi hidro menjadi salah satu pilihan alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Terlebih, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan banyak sungai besar dan curah hujan tinggi yang menciptakan kondisi ideal bagi pembangunan PLTA.
Indonesia tercatat memiliki 4.400 sungai. Sebanyak 128 di antaranya merupakan sungai besar yang sudah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.
Sementara itu, data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (P3TEK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, terdapat lebih dari 52.000 lokasi yang berpotensi sebagai pembangkit hidro.
Adapun total potensi energi hidro dengan sistem run off river sebesar 94.627 MW. Namun, implementasi PLTA di Indonesia baru mencapai 6,7 gigawatt (GW).
Meski memiliki potensi yang besar, pemanfaatan energi hidro di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang tidak bisa diabaikan.
Baca juga: Bendungan Bisa Dimanfaatkan untuk PLTA dan PLTS Terapung
Ketua Klaster Riset Sekolah llmu Lingkungan Universitas Indonesia Ahyahudin Sodri dalam Simposium bertajuk ”Peluang dan Tantangan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Indonesia” di Jakarta, Kamis (23/11/2023), menjabarkan, kendala yang selama ini dihadapi dalam pembangunan PLTA di Indonesia, antara lain, besaran investasi yang tinggi, perizinan yang kompleks dan lama, kebutuhan lahan yang besar, serta kualitas sumber air yang belum mencukupi.
“Penolakan dan konflik sosial juga masih dijumpai pada pembangunan PLTA di beberapa lokasi,” ujar Ahyahudin sebagaimana diberitakan Kompas.id, Kamis (23/11/2023).
Namun, pemerintah melalui PLN terus melangkah maju. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN menargetkan pembangunan energi hidro yang mencakup 9.272 MW pada PLTA dan 1.118 MW pada pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).
Untuk diketahui, PLTMH memiliki kapasitas yang lebih kecil ketimbang PLTA dan dapat diterapkan di wilayah-wilayah terpencil. PLTMH cocok untuk melistriki daerah yang memiliki akses terbatas ke jaringan listrik nasional.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya