Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jaga Keanekaragaman Hayati, Masyarakat Adat Kalimantan Bersuara di COP 16

Kompas.com - 31/10/2024, 21:05 WIB
Masya Famely Ruhulessin,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perlindungan keanekaragaman hayati tidak bisa lepas dari peran serta masyarakat adat dan lokal yang sejak lama sudah menjadi bagian dari ekosistem di wilayah adatnya.

Praktek-praktek pemantauan keanekaragaman hayati (biodiversity monitoring) sejatinya sudah dilakukan oleh masyarakat adat termasuk yang ada di Kalimantan.

Mereka bercerita ke masyarakat global tentang praktek-praktek monitoring keanekaragaman hayati yang dilakukan di wilayah adat mereka dalam Conference of the Parties (COP) to the Convention on Biological Diversity (CBD) atau COP 16 CBD. 

Acara tersebut berlangsung sejak tanggal 21 Oktober 2024 hingga 1 November 2024 di Cali, Kolumbia.

Perwakilan masyarakat adat Ketemenggungan Iban Jalai Lintang, Kalimantan Barat, Raymundus Remang mengatakan hutan tak hanya harus dikelola namun juga dijaga.

Baca juga: Pesan Masyarakat Adat Dayak Iban soal Pengelolaan Tanah Ulayat

“Seluruh Masyarakat Adat di Indonesia harus terus menjaga dan mengelola hutan beserta isinya, karena lebih baik menjaga mata air, daripada meneteskan air mata,” tutur Raymundus.

Sementara itu, generasi ketiga Ketemenggungan Iban Jalai Lintang/Pengurus Daerah AMAN Kapuas Hulu, Darus Doni menekankan terkait peran penting generasi muda dalam mengelola wilayah adat.

“Generasi muda adat harus lebih aktif menjaga dan mengelola wilayah adat sebagai penerimaan leluhur, untuk masa depan yang terus baik,” ungkapnya.

Hutan hujan tropis yang berada di Kapuas Hulu merupakan benteng terakhir bagi banyak spesies flora dan fauna, termasuk Rangkong gading yang terancam punah serta 7 jenis rangkong Kalimantan, orangutan, dan jutaan makhluk lainnya.

Selain Masyarakat Adat Ketemenggungan Iban Jalai Lintang, juga ada masyarakat adat Dayak Punan Tugung di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

Baca juga: Pemerintah Kaji Kerentanan Sosial agar Masyarakat Adat Peroleh Hak atas Tanah

Perempuan adat Punan Tugung Nurhayati, mengatakan masyarakat setempat memiliki pengetahuan untuk menggunakan tanaman herbal sebagai obat berbagai penyakit seperti panas dalam hingga penawar racun.

“Hutan adalah supermarket dan apotek gratis bagi kami. Dari hutan, kami bisa mendapatkan segala kebutuhan yang kami perlukan. Kami tidak bisa dipisahkan dengan hutan adat kami.” jelasnya Nurhayati.

Sayangnya, hingga saat ini wilayah adat Dayak Punan Tugung berada dalam izin konsesi PT Intracawood yang bergerak pada Hak Pengelolaan Hutan (HPH).

“Perbedaan pengelolaan hutan oleh korporasi dan masyarakat adat terlihat mencolok dan menunjukkan bagaimana masyarakat Adat Dayak Punan Tugung mampu melindungi keperawanan hutan adat mereka.” Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Rahmat Sulaiman.

Masyarakat adat di Kalimantan bukan merupakan satu-satunya yang sedang berusaha mendapatkan pengakuan atas status dan ruang hidupnya.

Tak hanya di Indonesia, proses negosiasi dalam COP16 CBD untuk penghormatan dan pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang  terbukti berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati, berjalan dengan cukup alot.

Padahal, penghormatan terhadap hak dan pengakuan terhadap ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan prasyarat utama bagi mereka untuk bisa mempraktikan pengelolaan ekosistem berkelanjutan yang sudah dilakukan selama ini.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau