KOMPAS.com - Hampir separuh dari kota-kota paling besar dunia berisiko mengalami satu atau lebih bencana akibat iklim pada 2050.
Kota-kota terbesar yang dimaksud adalah kota padat penduduk yang menjadi pusat ekonomi di dunia.
Bencana tersebut seperti banjir, gelombang panas, siklon, atau krisis air. Berbagai bencana tersebut akan semakin parah kecuali emisi gas rumah kaca (GRK) dapat dikendalikan.
Baca juga: PBB: Bencana Kelaparan Terjadi Akibat Konflik hingga Guncangan Iklim
Temuan tersebut mengemuka berdasarkan laporan terbaru dari London Stock Exchange Group (LSEG) berjudul Net Zero Atlas yang dirilis baru-baru ini.
"Kota-kota dalam studi kami - pusat-pusat ekonomi dunia yang menyumbang hampir 20 persen dari PDB global dan merupakan rumah bagi 440 juta orang - sangat rentan terhadap risiko iklim,” kata kepala penelitian investasi berkelanjutan global LSEG, Jaakko Kooroshy, sebagaimana dilansir Euronews, Jumat (1/11/2024).
Kooroshy menuturkan, suhu Bumi yang "hanya" naik 1,3 derajat celsius saja, dampaknya sudah sangat terasa.
Contohnya, banjir bandang di Valencia, Spanyol. Hujan yang turun selama delapan jam membawa air bah yang meluluhlantakkan kota tersebut.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan iklim dari negara-negara dunia saat ini, LSEG memperkirakan suhu Bumi akan naik 2,6 derajat celsius.
Baca juga: Setengah Kota Besar Dunia Hadapi Risiko Iklim Parah pada 2050
Berdasarkan skenario paling buruk tersebut, 47 persen dari total 49 kota terbesar di dunia akan mengalami risiko tinggi bencana akibat iklim pada 2050.
Menurut laporan LSEG, kota-kota besar di Timur Tengah dan Asia Tenggara menjadi yang paling berat dalam menanggung dampak krisis ini.
Dua kota besar Indonesia, yakni Jakarta dan Surabaya, diprediksi akan mengalami lebih dari 50 hari panas ekstrem dalam setahun pada 2050.
Selain dua kota di Indonesia tersebut, empat kota lain yakni Singapura di Singapura, Dubai di Uni Emirat Arab, serta Riyadh dan Jeddah di Arab Saudi diprediksi mendapatkan dampak yang sama.
Di Eropa, para analis LSEG menyoroti posisi Amsterdam di Belanda dan Madrid di Spanyol yang semakin genting.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Ekonomi Negara Asia dan Pasifik Rugi Besar
Amsterdam terletak di dataran rendah ini menghadapi risiko tinggi akibat kenaikan permukaan laut dan banjir, yang dapat meningkat hingga 60 persen.
Di Madrid, hari-hari gelombang panas dapat melonjak hingga 135 persen hingga mencapai kategori risiko sedang yaitu 41 hari pada 2050.
Kelangkaan air di ibu kota Spanyol tersebut diproyeksikan akan meningkat menjadi berisiko tinggi pada tahun 2050.
Sementara itu, London dan Manchester menjadi sorotan di Inggris. London diperkirakan akan mengalami peningkatan tekanan air sebesar 22 persen pada 2025.
Cuaca panas ekstrem di London akan meningkat dua kali lipat dari 11 menjadi 25 hari setiap tahunnya.
Manchester diprediksi mengalami peningkatan gelombang panas sebesar 93 persen dan peningkatan tekanan air sebesar 45 persen, menurut penelitian tersebut.
Baca juga: Antisipasi Perubahan Iklim, Langkah Membumi Festival 2024 Digelar Pada 2-3 November
Kooroshy menuturkan, menjelang KTT Iklim COP29, negara-negara G20 perlu segera mengurangi emisi untuk mencegah dampak krisis iklim meningkat dengan cepat.
Komitmen iklim nasional yang diperkuat akan sangat penting.
"Meskipun demikian, bahkan jika dampak terburuk dari perubahan iklim dapat dicegah, investasi yang signifikan akan diperlukan untuk menyesuaikan kota-kota dengan iklim ekstrem yang baru," papar Kooroshy.
LSEG juga menguraikan berbagai strategi adaptasi yang dapat diterapkan kota-kota besar, mulai dari sistem peringatan dini hingga solusi berbasis alam.
Selain itu, berbagai infrastruktur juga perlu diperkuat seperti sea wall, penghalang banjir, dan sistem drainase.
Demikian pula, kota-kota perlu menguatkan infrastruktur hijau seperti taman, koridor hijau, dan lahan basah karena hal ini membantu mengelola banjir dan mengurangi efek urban heat island.
Baca juga: AMJI 2024: Puluhan Ribu Anak Muda Indonesia Bersatu Lawan Krisis Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya