KOMPAS.com - Laporan Barometer Aksi Iklim Global 2024 dari Ernst & Young menyebut meski pengungkapan iklim telah meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir, tindakan perusahaan untuk memerangi krisis iklim masih kurang.
Hal ini terlihat dari laporan yang menunjukkan walaupun 94 persen perusahaan besar mengungkapkan informasi terkait iklim, hanya 41 persen yang mengembangkan rencana transisi iklim secara terperinci yang dipublikasikan.
Temuan itu pun menyoroti adanya kesenjangan yang mengkhawatirkan dalam aksi iklim.
“Perubahan iklim adalah ancaman eksistensial terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini. Namun pengungkapan iklim dari perusahaan terbesar di dunia belum mencerminkan transisi yang terkait dengan perubahan iklim," ungkap Dr. Matthew Bell, Pemimpin Layanan Perubahan Iklim dan Keberlanjutan Global EY.
Baca juga:
"Banyak pula yang tidak mengomunikasikan rencana untuk beralih ke ekonomi nol-bersih, dengan proyeksi pengeluaran modal dan operasional (capex dan opex) yang masih belum ada. Pelajaran yang tak terelakkan dari kelalaian ini adalah bahwa sebagian besar perusahaan masih sangat tidak siap menghadapi masalah perubahan iklim yang sedang kita hadapi," papar Christophe Lumsden, Pemimpin Iklim dan Dekarbonisasi Global EY.
Seperti dikutip dari ESG News, Senin (18/11/2024), yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah banyak perusahaan yang enggan untuk menetapkan target emisi gas rumah kaca (GRK) jangka panjang.
Hanya 51 persen perusahaan yang memiliki tujuan tersebut yang berlaku hingga setelah 2030, menunjukkan kurangnya komitmen terhadap aksi iklim yang berkelanjutan.
Selain itu, hanya 24 persen perusahaan yang disurvei yang targetnya telah divalidasi oleh inisiatif Science Based Targets (SBTi), yang menetapkan jadwal khusus untuk dekarbonisasi yang selaras dengan Perjanjian Paris 2015.
Laporan ini mencatat pula meski 67 persen bisnis melakukan analisis skenario terkait iklim, hanya 36 persen yang memasukkan risiko terkait iklim dalam laporan keuangan mereka.
Keengganan ini mungkin disebabkan oleh cakrawala perencanaan yang berbeda. Banyak perusahaan merencanakan keuangan untuk jangka pendek sementara risik iklim dapat terjadi selama beberapa dekade.
Lebih lanjut, sektor-sektor seperti energi, asuransi dan pertambangan menunjukkan peningkatan pengungkapan iklim, dengan sektor energi mencapai skor tertinggi 59 persen.
Baca juga:
Sayangnya, sektor-sektor tersebut masih belum mampu mengadopsi rencana transisi yang komprehensif, dengan hanya 43 persen perusahaan energi dan 36 persen perusahaan asuransi yang telah mengembangkan rencana tersebut.
Laporan EY pun memberikan beberapa saran tindakan untuk mempercepat transisi keberlanjutan.
Di antaranya adalah mengintegrasikan perencanaan transisi ke dalam strategi bisnis dengan fokus pada target berbasis sains ntuk emisi Cakupan 1, 2, dan 3.
Selain itu menggabungkan risiko iklim dalam laporan keuangan untuk menunjukkan transparansi dan pandangan ke depan serta menggunakan data yang kuat untuk mendorong keputusan strategis dan mengantisipasi tantangan iklim.
Akhirnya, laporan menyimpulkan meski cakupan pengungkapan telah ditingkatkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Perusahaan harus meningkatkan rencana aksi iklim mereka dan mengadopsi pendekatan yang strategis dan transparan untuk memenuhi urgensi yang dibutuhkan oleh krisis iklim dan tujuan Perjanjian Paris.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya