Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Target Reboisasi 12,7 Juta Hektare, Mungkinkah Berhasil?

Kompas.com - 19/11/2024, 17:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETUA delegasi Indonesia di COP 29 sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim, Hashim Djojohadikusumo di Azerbaijan, Senin (11/11/2024), menyebut sebanyak 12,7 juta hektare hutan di Indonesia yang telah rusak akan direboisasi dalam rangka mengurangi emisi karbon di Indonesia. Pernyataan yang mengejutkan sekaligus mencengangkan.

Patut diapresiasi kemauan kuat pemerintah untuk mengembalikan kawasan hutan yang telah terdeforestasi dan terdegrasi menjadi hutan kembali dengan tutupan hutan (forest recovery) sempurna.

Namun, kemauan kuat tidak cukup. Pasalnya, menjadikan kawasan hutan kembali membutuhkan dana, SDM terampil, dan waktu yang sangat lama.

Jangan membayangkan dan membandingkan keberhasilan reboisasi di Semboja Lestari (satu jam perjalan dari Balikpapan) yang luasnya hanya 1.000 hektare. Kenapa?

Lokasi yang dicontohkan tersebut merupakan hutan produksi yang aksesibilitas tinggi karena topografi relatif datar, mudah dijangkau, mudah pula ditanami, dipelihara, dirawat, dan diawasi. Dengan demikian, tingkat keberhasilan tumbuh tanaman sampai menjadi pohon dewasa juga tinggi.

Dengan jarak tanam 2 x 3 m, luas 1000 ha, kebutuhan bibit yang diperlukan hanya 1.650.000 bibit tanaman ditambah sulaman tahun berjalan 10 persen (165.000 bibit tanaman).

Tidak bisa disamakan dengan reboisasi seluas 12,7 juta ha yang lokasinya tersebar dengan topografi bervariasi. Tidak hanya datar, tetapi juga perbukitan dan pegunungan dengan aksesibilitasnya rendah.

Kebutuhan bibit tanaman pun tidak main-main. Dengan luas 12,7 juta ha dibutuhkan sebesar 20.955.000.000 bibit tanaman. Jika ditambah 10 persen untuk sulaman, maka butuh 2.095.500.000 bibit tanaman.

Mari kita ulas tingkat kesulitan yang dihadapi mereboisasi 12,7 juta ha, dan syarat-syarat apa saja untuk menjamin tingkat keberhasilan, serta merefleksi ketidakberhasilanya kegiatan reboisasi (dikenal juga dengan istilah rehabilitasi hutan) yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini.

Sejarah masa lalu

Reboisasi atau reforestasi yang selama ini dikenal sebagai program rehabilitasi hutan telah dilakukan sejak Orde Baru hingga terakhir pemerintahan Jokowi (1976 – 2024).

Selama era tersebut, reboisasi diklaim telah dilakukan pada lahan dengan luas yang lebih besar dari target pemerintahan saat ini.

Namun, perlu ada evaluasi lebih dahulu, berapa luas kumulatif kawasan hutan yang telah direboisasi hingga saat ini dan berapa luas kawasan hutan yang berhasil menjadi tutupan hutan (forest covery) kembali?

Pasalnya, hingga kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sekarang kembali menjadi Kementerian Kehutanan, belum sekalipun merilis data keberhasilan reboisasi selama ini.

Masalah deforestasi dan reboisasi/reforestasi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak ada habisnya bila diulas/dibahas tanpa berpegang pada data yang sama dan sahih (valid).

Mengacu pada data dalam buku “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit Desember tahun 2020, KLHK menyatakan luas hutan (bentang darat) Indonesia secara hukum (de jure) 120,5 juta ha.

Luas ini terdiri dari hutan konservasi 27,3 juta ha, hutan lindung 29,6 juta ha, hutan produksi 63,4 juta ha.

Dari luas 120,5 juta ha itu, yang masih punya tutupan hutan seluas 97,1 juta ha. Sedangkan yang tidak punya tutupan hutan alias lahan terbuka, semak belukar dan lahan terlantar seluas 33,4 juta ha, tersebar pada hutan konservasi 4,5 juta ha, hutan lindung 5,6 juta ha, dan hutan produksi 23,3 juta ha.

Kesalahan reboisasi yang akut dan laten selama ini adalah pertama, prioritas sasaran lokasi reboisasi tidak jelas (hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi).

Kegiatan reboisasi lebih banyak dilakukan di hutan produksi yang aksesnya lebih mudah dijangkau. Padahal bencana hidrometeorologi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh rusaknya daerah hulu DAS yang pada umumnya adalah kawasan lindung (hutan konservasi dan hutan lindung).

Kedua, kegiatan reboisasi masih dianggap sebagai sistem keproyekan di mana tanaman hutan hanya dipelihara dan dirawat hingga umur tiga tahun. Selebihnya diserahkan kepada mekanisme alam sampai tanaman menjadi pohon dewasa.

Keberhasilan luas reboisasi selama ini dihitung berdasarkan jumlah bibit yang ditanam, bukan berapa luas tanaman menjadi pohon dewasa minimal umur 15 tahun (tanaman sudah dianggap menjadi pohon dewasa).

Sasaran reboisasi harus jelas

Sasaran reboisasi seluas 12,7 juta ha mestinya diprioritaskan terlebih dulu di lokasi kawasan hutan yang menjadi kawasan lindung, yakni hutan konservasi dan hutan lindung yang telah terdeforestasi dan terdegradasi (tidak ada tutupan hutannya) seluas 10,1 juta ha.

Rinciannya: hutan konservasi 4,5 juta ha dan hutan lindung 5,6 juta ha.

Sebagai kawasan lindung, hutan konservasi dan hutan lindung wajib mempunyai tutupan hutan, karena mempunyai peran strategis sebagai penyeimbang tata air dari hulu ke hilir dalam suatu ekosistem daerah aliran sungai (DAS).

Bencana hidrometeorologi yang selama ini terjadi di Indonesia seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan sebagian besar karena minimnya luas kecukupan tutupan hutan di daerah hulu suatu kawasan DAS, khususnya DAS-DAS besar.

Hal ini tidak akan terjadi atau kecil peluangnya terjadi bencana hidrometeorologi apabila semua kawasan lindung terutama hutan konservasi dan hutan lindung di daerah hulu telah mempunyai tutupan hutan semuanya.

Sisanya kegiatan reboisasi seluas 2,6 juta ha dapat diarahkan pada kawasan hutan produksi. Itupun harus dipilih dan dipilah pada hutan produksi yang bukan diperuntukkan penggunaan lain (alih fungsi hutan) untuk dilepaskan kawasan hutan produksi, yang selama ini dikenal sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

Selain itu, bukan juga hutan produksi biasa (HPB) yang akan diberikan untuk kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam IUPHHK-HA).

Dengan kata lain, reboisasi di kawasan hutan produksi dapat diarahkan pada kawasan hutan produksi terbatas (HPT).

Dari hutan produksi yang terdeforestasi dan terdegradasi seluas 23,3 juta ha, terdiri dari hutan produksi terbatas (HPT) 5,4 juta ha, hutan produksi biasa (HPB) 11,4 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 6,5 juta ha.

Paradigma baru reboisasi

Paradigma reboisasi adalah kegiatan rehabilitasi hutan dalam bentuk menanam pohon hutan (revegetasi) atau pengayaan (enrichment planting) untuk membangun hutan baru pada kawasan hutan yang telah mengalami proses deforestasi, khususnya pada kawasan hutan yang tidak lagi mempunyai tutupan hutan (non forested).

Reforestasi atau juga dikenal dengan istilah reboisasi seharusnya ditempatkan dalam kerangka (frame) membangun hutan kembali secara permanen sebagaimana keadaan sebelum terjadinya kegiatan deforestasi.

Bentuknya dapat berupa hutan monokultur maupun hutan heterogen. Pisahkan dulu pengertian deforestasi di kawasan hutan produksi yang secara legal memang disahkan melalui perizinan dari pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam maupun hutan tanaman yang dikelola dengan prinsip lestari dan berkelanjutan.

Di kawasan tersebut akan direforestasi secara terus menerus setelah dilakukan penebangan/pemanenan (cutting).

Selama ini terdapat pemahaman salah yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK).

Reforestasi dianggap sebagai kegiatan menanam pohon yang indentik dengan membangun hutan, dikapitalisasi dari jumlah bibit atau anakan dalam luasan tertentu untuk mereduksi (mengurangi) luasan kawasan hutan yang telah terdeforestasi.

Padahal membangun hutan adalah membentuk bibit atau anakan pohon yang ditanam tidak sekadar ditanam, tetapi juga perlu dipelihara, dijaga, dan dirawat menjadi pohon dewasa setidaknya berumur minimal 15-20 tahun.

Dalam terminologi ilmu kehutanan, khususnya ekologi hutan; untuk menjadi pohon dewasa, anakan/bibit pohon yang ditanam harus mengalami proses metamorphosis melalui empat tahapan.

Tahapan tersebut, yakni seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m; sapling (sapihan, pancang) permudaan yang tinggi 1,5 m dan lebih sampai pohon muda berdiameter kurang dari 10 cm.

Lalu pole (tiang), yaitu pohon pohon muda berdiameter 10 – 35 cm; trees (pohon dewasa) berdiameter diatas 35 cm.

Celakanya, pemerintah sampai sekarang masih menggunakan paradigma lama dalam kegiatan reforestari, yang dilaksanakan bersifat keproyekan dengan alasan keterbatasan anggaran.

Menanam anakan pohon dan pemeliharaannya hanya dilakukan sampai tanaman berumur 3 tahun. Selebihnya diserahkan kepada mekanisme alam, dibiarkan berjuang dan tumbuh sendiri tanpa intervensi manusia.

Lucunya lagi, dalam kegiatan reforestasi ini, pemerintahan berharap peran masyarakat untuk merawat dan memeliharanya. Padahal, rehabilitasi kawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.

Beda dengan rehabilitasi lahan, memang perawatan dan pemeliharan tanaman selanjutnya diserahkan kepada pemilik lahan.

Agar reboisasi berhasil, pemerintah harus sanggup membiayai pemeliharaan dan perawatan tanaman menjadi pohon dewasa.

Ingat, karena menyangkut kawasan hutan, maka tanggung jawab reboisasi adalah tanggungjawab penuh pemerintah (Kementerian Kehutanan) dan tidak dapat dibebankan pada masyarakat.

Lain halnya, penghijauan yang dilakukan pada kawasan nonkehutanan, keberhasilannya sangat tergantung pada partisipasi masyarakat penuh.

Tingkat kesulitan 

Secara teknis, tingkat kesulitan yang dihadapi adalah mereboisasi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang tingkat aksesibilitasnya rendah.

Pada umumnya, topografi kawasan hutan konservasi dan hutan lindung adalah perbukitan dan pegunungan yang sulit dijangkau oleh manusia. Jangankan untuk menanam bibit tanaman, membawa bibit ke lokasi tanam pun sulit.

Manajemen persemaian kehutanan permanen yang dibangun pemerintah di tiap tiap provinsi ternyata keliru selama ini. Bibit tanaman hutan yang dihasilkan dari persemaian kehutanan permanen, ternyata tidak untuk merehabilitasi hutan yang terdeforestasi dan terdegradasi, tetapi hanya dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkannya untuk kegiatan rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan.

Berdasar aspek teknis, pemusatan persemaian kehutanan permanen sesungguhnya mempunyai banyak kelemahan. Salah satunya dalam distribusi bibit.

Dalam mendistribusikan bibit tanaman kesasaran lokasi penanaman, berdasarkan aturan, jarak antara persemaian dengan lokasi penanaman tidak boleh lebih dari 5 km.

Bila bibit diangkut lebih dari radius 5 km, maka peluang bibit rusak dan mati akan sangat tinggi, karena bibit mengalami "stres".

Oleh karena itu, ketentuan di kehutanan bahwa 10.000 ha kawasan hutan harus mampu membangun persemaian sendiri di dalamnya dengan kapasitas produksi minimal 16.500.000 bibit plus sulaman tahun berjalan 1.650.000 bibit.

Meski mahal, membangun persemaian di sekitar lokasi penanaman lebih terjamin keberhasilannya.

Dari luas 12,7 juta ha yang akan direboisasi, dibutuhkan 1.270 titik lokasi persemaian. Setiap titik setidaknya menyediakan bibit untuk lahan seluas 10.000 ha.

Pemeliharaan, perawatan, dan pengawasan tanaman harus dipastikan sampai tanaman menjadi pohon dewasa.

Dalam ilmu silvikultur, reboisasi disebut berhasil apabila setelah 16 tahun, minimal ada 400 batang pohon dewasa yang hidup dalam satu hektare.

Asumsinya adalah setelah melalui proses pemupukan, pemangkasan, dan penjarangan sampai dengan jarak 5 x 5 m setiap hektare, tanaman dapat hidup sehat menjadi pohon dewasa.

Persoalan mendasar adalah mampukah pemerintah (meskipun akan bermitra dengan pihak swasta atau dana dari luar negeri berupa pinjaman/hibah) menyediakan dana yang sangat besar?

Menurut perkiraan para ahli kehutanan, program tersebut menelan biaya tujuh sampai sepuluh kali lebih besar dari yang selama ini disiapkan oleh pemerintah setiap hektarenya. Kita lihat saja perkembangan selanjutnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau