Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penambangan untuk Energi Hijau Picu Konflik di Asia

Kompas.com, 28 November 2024, 18:53 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com-Laporan baru dari Global Witness menemukan penambangan mineral untuk memenuhi tujuan energi hijau global memicu konflik, merusak lingkungan, dan melanggar hak asasi manusia di Asia dan di tempat lain.

Global Witness merupakan sebuah LSM internasional yang berfokus pada pengungkapan pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia dalam industri sumber daya.

"Kami melihat banyak hal, mulai dari orang-orang yang memprotes dampak lingkungan, tentang tanah mereka yang diambil dari mereka, dan pelanggaran hak asasi manusia, hingga para penambang sendiri yang berselisih dengan perusahaan," ungkap Emily Iona Stewart, kepala kebijakan dan hubungan Uni Eropa di Global Witness.

Dikutip dari Eco Business, Kamis (28/11/2024) laporan menemukan bahwa penambangan mineral penting seperti litium, kobalt, nikel, dan tembaga, yang penting untuk kendaraan listrik, turbin angin, panel surya, dan jaringan listrik, dikaitkan dengan 334 insiden kekerasan, protes, dan kematian antara tahun 2021 dan 2023.

Baca juga:

Sebanyak 90 persen di antaranya terjadi di negara-negara berkembang. Asia Tenggara yang menjadi tempat cadangan mineral terbesar di dunia, telah menjadi titik panas kerusuhan tertentu.

Masyarakat di negara-negara tersebut menanggung beban upaya global untuk menambang sumber daya ini guna mendukung transisi energi.

Peningkatan Pelanggaran

Meskipun tujuan akhirnya adalah membuat planet ini lebih hijau dengan beralih dari bahan bakar tradisional seperti batu bara, masyarakat setempat sering kali masih terkena dampak negatif.

Stewart pun memperingatkan bahwa kerusuhan kemungkinan akan meningkat, karena negara-negara meningkatkan upaya mereka untuk menghentikan bahan bakar fosil.

Laporan Global Witness memproyeksikan bahwa penambangan tembaga akan meningkat lebih dari 25 persen pada tahun 2028, kobalt lebih dari 100 persen, litium lebih dari 300 persen, dan nikel lebih dari 75 persen.

Lebih lanjut laporan juga menyoroti penambangan mineral memang sedang marak di seluruh belahan Bumi Selatan.

Akan tetapi keuntungan finansialnya terutama menguntungkan perusahaan produksi negara-negara kaya. Sementara perusahaan jarang mempertimbangkan masyarakat lokal yang terdampak.

Baca juga:

Penilaian dampak lingkungan dan sosial yang dilakukan pun terbatas dan sering kali tidak ada akses bagi masyarakat untuk menyampaikan kekhawatiran.

Dengan permintaan mineral penting yang tidak menunjukkan tanda-tanda melambat, Global Witness menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk mengatasi biaya manusia dan lingkungan dari penambangan energi terbarukan dan menerapkan mekanisme perlindungan yang lebih kuat.

Stewart berharap laporan Global Witness akan berfungsi sebagai peringatan untuk memastikan bahwa rantai pasokan benar-benar berkelanjutan.

"Untuk mencapainya, perusahaan pertambangan perlu mengadopsi dan menegakkan standar yang lebih tinggi untuk melindungi hak-hak masyarakat yang terkena dampak dan lingkungan, sementara pemerintah nasional perlu memperkuat penegakan hak asasi manusia, undang-undang ketenagakerjaan, dan perlindungan lingkungan," katanya.

Baca juga: Pertambangan Nasional Picu Bencana, BNPB Minta Pemda Tertibkan

Danny Marks, asisten profesor politik dan kebijakan lingkungan, yang berfokus pada Asia Tenggara, di Dublin City University, Irlandia turut menambahkan bahwa perusahaan yang bergantung pada mineral perlu berinvestasi lebih banyak dalam memahami rantai pasokan mereka dan memikul tanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh penambangan.

"Peralihan ke energi terbarukan sangat bagus tetapi seluruh rantai pasokan perlu mengambil tindakan dalam hal keadilan dan biayanya," paparnya lagi.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Studi Sebut Bahasa Iklim PBB Kikis Kepercayaan Publik terhadap Sains
Studi Sebut Bahasa Iklim PBB Kikis Kepercayaan Publik terhadap Sains
Pemerintah
Lahan Pertanian Bisa Jadi Kunci Melawan Perubahan Iklim
Lahan Pertanian Bisa Jadi Kunci Melawan Perubahan Iklim
Pemerintah
494 Karton Udang PT Bahari Makmur Sejati Dimusnahkan Usai Terkontaminasi Cs-137
494 Karton Udang PT Bahari Makmur Sejati Dimusnahkan Usai Terkontaminasi Cs-137
Pemerintah
Pertamina Salurkan Bantuan untukUrban Farming dan Pengelolaan Sampah Senilai Rp 6,5 Miliar
Pertamina Salurkan Bantuan untukUrban Farming dan Pengelolaan Sampah Senilai Rp 6,5 Miliar
BUMN
Pengunjung Taman Mini Kini Bisa Tabung Kemasan Botol Sekali Pakai
Pengunjung Taman Mini Kini Bisa Tabung Kemasan Botol Sekali Pakai
Swasta
Studi Sebut Teknologi Digital Efektif Ajarkan Keberlanjutan Laut pada Generasi Muda
Studi Sebut Teknologi Digital Efektif Ajarkan Keberlanjutan Laut pada Generasi Muda
Pemerintah
Ancaman Baru, Perubahan Iklim Perluas Habitat Nyamuk Malaria
Ancaman Baru, Perubahan Iklim Perluas Habitat Nyamuk Malaria
Pemerintah
Ironis, Tembok Alami di Pesisir Selatan Jawa Kian Terkikis Tambang Pasir
Ironis, Tembok Alami di Pesisir Selatan Jawa Kian Terkikis Tambang Pasir
Pemerintah
Maybank Group Alokasikan Rp 322 Triliun untuk Pendanaan Berkelanjutan
Maybank Group Alokasikan Rp 322 Triliun untuk Pendanaan Berkelanjutan
Swasta
Sampah Campur dan Kondisi Geografis Bikin Biaya Daur Ulang di RI Membengkak
Sampah Campur dan Kondisi Geografis Bikin Biaya Daur Ulang di RI Membengkak
Swasta
Kemenperin Setop Insentif Impor EV CBU Demi Genjot Hilirisasi Nikel
Kemenperin Setop Insentif Impor EV CBU Demi Genjot Hilirisasi Nikel
Pemerintah
Tak Hanya EV, Sektor Metalurgi Hijau Bisa Dongkrak Hilirisasi Nikel
Tak Hanya EV, Sektor Metalurgi Hijau Bisa Dongkrak Hilirisasi Nikel
LSM/Figur
Studi: Masyarakat Salah Paham Tentang Dampak Lingkungan Makanan Sehari-hari
Studi: Masyarakat Salah Paham Tentang Dampak Lingkungan Makanan Sehari-hari
Pemerintah
Kisah Kakao Kampung Merasa di Berau, Dulu Dilarang Dimakan Kini Jadi Cuan
Kisah Kakao Kampung Merasa di Berau, Dulu Dilarang Dimakan Kini Jadi Cuan
Swasta
UNICEF Peringatkan Ada 600 Juta Anak Berpotensi Terpapar Kekerasan di Rumah
UNICEF Peringatkan Ada 600 Juta Anak Berpotensi Terpapar Kekerasan di Rumah
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau