KOMPAS.com - Mahkamah Internasional, badan kehakiman utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), akan membuka sidang besar terkait perubahan iklim mulai Senin (2/11/2024).
Sidang tersebut akan membahas apa yang secara hukum harus dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk memerangi perubahan iklim.
Mulai Senin, pengadilan yang berpusat di Den Haag, Belanda, tersebut akan mendengarkan pendapat dari 99 negara dan belasan organisasi antarpemerintah selama dua pekan.
Baca juga: Pencarian Gambar di Internet Dipengaruhi oleh Pandangan tentang Perubahan Iklim
Dilansir dari Euronews, ini adalah sidang terbesar dalam sejarah lembaga tersebut yang hampir berusia 80 tahun.
Sidang tersebut digelar setelah tahun lalu Majelis Umum PBB meminta pendapat Mahkamah Internasional tentang apa saja kewajiban negara-negara terkait perubahan iklim.
Hal tersebut juga tak lepas dari desakan negara-negara kepulauan selama bertahun-tahun lamanya karena mereka menjadi wilayah yang paling terdampak perubahan iklim.
Mereka juga khawatir akan lenyap begitu saja akibat naiknya permukaan air laut karena perubahan iklim.
"Kami ingin pengadilan mengonfirmasi bahwa tindakan yang telah merusak iklim adalah tindakan yang melanggar hukum," kata pemimpin tim hukum Vanuatu, Margaretha Wewerinke-Singh, kepada AP.
Baca juga: Perubahan Iklim Berakibat Kasus DBD Global Naik 19 Persen Tahun Ini
Akan ada dua pembahasan besar dalam sidang tersebut. Pertama, apa yang wajib dilakukan negara-negara berdasarkan hukum internasional untuk melindungi iklim dan lingkungan dari emisi gas rumah kaca yang disebabkan manusia.
Kedua, apa konsekuensi hukum bagi pemerintah yang tindakannya, atau kurangnya tindakan, telah merusak iklim dan lingkungan secara signifikan.
Sebanyak 15 hakim akan mengikuti sidang tersebut. Sebelum sidang, mereka diberi pengarahan tentang sains di balik meningkatnya suhu global oleh badan perubahan iklim PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC.
Keputusan apa pun yang dibuat oleh Mahkamah Internasional akan menjadi nasihat yang tidak mengikat dan tidak dapat secara langsung memaksa negara-negara kaya untuk bertindak membantu negara-negara yang sedang berjuang.
Namun, keputusan tersebut akan lebih dari sekadar simbol yang kuat karena dapat menjadi dasar bagi tindakan hukum lainnya, termasuk gugatan hukum dalam negeri.
Baca juga: Anak-anak Perlu Perhatian Khusus dalam Kebijakan Melawan Perubahan Iklim
Bulan lalu, KTT Iklim COP29 berakhir dengan adopsi pendanaan dari negara kaya sebesar 300 miliar dollar AS per tahun mulai 2035 untuk membantu negara-negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim.
Namun, para ahli dan pejabat dari negara berkembang serta negara-negara rentan mengecam janji baru ini sebagai "pengkhianatan" dan "lelucon" karena dinilai sangat sedikit.
Sejumlah para pakar dan advokat mengkritik kesepakatan akhir COP29 yang dinilai jauh dari cukup untuk menghadapi krisis iklim, ancaman terbesar bagi umat manusia.
"Kami hidup di garis depan dampak perubahan iklim. Kami menjadi saksi atas hancurnya tanah kami, mata pencaharian kami, budaya kami, dan hak asasi manusia kami," kata utusan perubahan iklim Vanuatu Ralph Regenvanu kepada wartawan sebelum sidang.
Baca juga: Trump Tunjuk Pembantah Perubahan Iklim Jadi Menteri Energi AS
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya