JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan bahwa perdagangan karbon atau carbon offset saat ini masih belum banyak diminati.
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH, Ary Sudijanto, menjelaskan terdapat dua skema perdagangan karbon yakni di dalam negeri yang dirilis pada September 2023 lalu.
Sedangkan perdagangan karbon internasional dirilis IDX Carbon pada Januari 2025.
"Catatannya hampir 3 juta (ton CO2e) yang bisa kami sediakan. Kemudian sudah lebih dari 1,6 juta yang dibeli dengan nilai hampir Rp 78 miliar, memang mungkin masih kecil, tetapi ternyata IDX Carbon dapat penghargaan sebagai pasar karbon yang aktif di emerging economic," kata Ary saat ditemui di Jakarta Selatan, Senin (25/8/2025).
Dia menyebutkan bahwa pemerintah membutuhkan pendanaan Rp 4.000 triliun untuk memenuhi target penurunan emisi berdasarkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Oleh sebab itu, pihaknya kini tengah berupaya memasuki pasar karbon sukarela untuk menambah pendanaan iklim.
Baca juga: Riau Berambisi Dapat Rp 4 Triliun dari Perdagangan Karbon
"Kami mencoba alignment dengan pasar karbon sukarela, yang memang kapitalisasi pasarnya sudah sangat susah. Kami sudah menjalin mutual economic agreement dengan Gold Standard, lalu di akhir bulan ini atau di awal September kami akan signing dengan Plan Vivo," ucap Ary.
KLH telah menggandeng Gold Standard, organisasi nirlaba yang berfokus pada isu iklim, proyek energi, hingga industri. Sedangkan, kerja sama dengan Plan Vivo rencananya akan mencakup solusi berbasis alam salah satunya perhutanan sosial.
"Harapannya, kami menyediakan semua kanal yang ada untuk memobilisasi bagi pendanaan, aksi-aksi perubahan iklim. Di samping itu juga kami melakukan bilateral agreement untuk implementasi dari artikel 6.2 Paris Agreement, yang sekarang sudah ada dengan Jepang dan Norway," jelas dia,
Norwegia mendukung pendanaan proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung dengan nilai investasi mencapai sekitar 12 juta dollar AS hingga 2035. Ary memastikan, setiap transaksi karbon nantinya wajib dilakukan melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) sebagai pusat data iklim nasional guna mencapai target pengurangan emisi.
Baca juga: Filipina akan Terapkan Kebijakan Kredit Karbon, Targetkan Sektor Energi
"Pemerintah saat ini sedang mengembangkan versi baru dari SRN PPI. Pengembangan ini didasarkan pada latar belakang sebagai pertimbangan, yaitu pertama, kebutuhan sistem yang lebih modern, adaptif dan user-friendly," kata Ary.
Menurut dia, pengembangan tersebut dimaksudkan agar dapat mempermudah para pelapor dari berbagai latar belakang untuk mengakses dan memasukkan data. Sistem baru menargetkan akurasi, konsisten dan keterlacakan data sebagai bagian dari transparansi.
KLH juga menargetkan integrasi dengan sistem informasi lain terkait penanganan perubahan iklim untuk memastikan SRN PPI menjadi pusat data iklim nasional yang lebih kuat.
Fitur-fitur baru disiapkan untuk memudahkan proses verifikasi, memberikan visualisasi data yang lebih jelas, serta mendukung analisis berbasis bukti dalam pengambilan keputusan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya