KOMPAS.com - Studi baru dari American Society of Tropical Medicine and Hygiene menemukan bahwa perubahan iklim bertanggung jawab atas naiknya 19 persen kasus demam berdarah global tahun ini.
Bahkan, studi juga mengungkapkan, jika pemanasan global tidak segera diatasi maka lonjakan kasus DBD ini bisa naik hingga 60 persen pada tahun 2050.
Demam berdarah adalah penyakit virus ang menyebar melalui gigitan nyamuk yang dapat mengakibatkan gejala parah, seperti syok dan pendarahan internal yang dapat mengancam jiwa.
Dikutip dari IFL Science, Rabu (20/11/2024), wilayah yang mengalami lonjakan kasus demam berdarah terbanyak salah satunya adalah Amerika yang mencatat hampir 12 juta kasus yang dilaporkan sepanjang tahun ini. Sementara pada tahun 2023 terdapat 4,6 juta kasus demam berdarah.
Baca juga:
Penelitian baru yang dipresentasikan pada Pertemuan Tahunan American Society of Tropical Medicine and Hygiene ini pun memberi bukti bahwa salah satu pendorong signifikan lonjakan kasus tersebut adalah perubahan iklim dan meningkatnya suhu yang terkait dengannya.
“Kami melihat data tentang kejadian demam berdarah dan variasi iklim di 21 negara di Asia dan Amerika dan menemukan bahwa ada hubungan yang jelas dan langsung antara meningkatnya suhu dan lonjakan infeksi,” kata Dr. Erin Mordecai, seorang ahli ekologi penyakit menular dan penulis senior penelitian tersebut.
Ada faktor-faktor lain yang dapat berkontribusi terhadap wabah demam berdarah, seperti fenomena terkait iklim lainnya seperti curah hujan, jenis virus yang beredar, dan faktor sosial ekonomi seperti ekonomi dan kepadatan penduduk.
Namun, dengan memperhitungkan faktor-faktor tersebut, tim tersebut tetap menemukan bahwa ada hubungan dengan suhu yang lebih tinggi.
Penelitian lain sebelumnya telah mencatat pula bahwa nyamuk pembawa demam berdarah mengeluarkan lebih banyak virus saat suhu mencapai kisaran antara 20 derajat celsius dan 29 derajat celsius.
Baca juga:
Lebih lanjut, peneliti juga mengamati bagaimana situasi dapat berubah di masa mendatang dengan atau tanpa upaya untuk memerangi pemanasan global.
Dengan pengamatan itu, peneliti menemukan bahwa di beberapa tempat seperti Meksiko dan Brasil, jumlah infeksi dapat melonjak hingga 150 sampai 200 persen selama beberapa dekade mendatang tanpa intervensi.
Dalam skenario pemodelan iklim, secara global peningkatan infeksi dapat mencapai 60 persen.
Namun, jumlah itu bisa saja meleset mengingat peneliti tidak dapat membuat prediksi untuk negara-negara yang kekurangan data tetapi masih endemik dengue, seperti beberapa bagian Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan.
Sulit juga membuat prediksi di tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah mengalami masalah dengue, seperti AS kontinental.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya