KOMPAS.com - Untuk pertama kalinya sekelompok ilmuwan internasional menggunakan model iklim untuk memprediksi kapan Arktik akan mengalami hari pertama tanpa es.
Menurut pemodelan iklim peneliti hampir semua es laut Arktik dapat mencair pada musim panas 2027.
Es laut atau air laut beku yang mengapung di permukaan laut di wilayah tersebut telah berkurang ke titik terendah setelah puluhan tahun menyusut dan menipis akibat pemanasan planet.
Pemanasan tersebut didorong oleh emisi gas rumah kaca yang terus meningkat karena ketergantungan manusia pada bahan bakar fosil.
Jika waktu itu tiba, sangat mengkhawatirkan peneliti, meski mereka belum yakin apa dampaknya.
Dikutip dari Independent, Kamis (5/12/2024) studi itu menemukan Arktik disebut akan bebas es ketika memiliki es kurang dari 1 juta kilometer persegi.
Baca juga: Pemanasan Global Picu Siklon dan Hujan Badai di Seluruh Asia
Jumlah es laut paling sedikit yang biasanya mencair dan terbentuk kembali seiring dengan perubahan musim tahun ini adalah 1, 65 juta mil persegi, menurun tajam dibandingkan dengan rata-rata antara tahun 1979 dan 1992.
"Kita akan melihat kondisi Arktik bebas es pada abad ini. Kecuali kita dapat mempertahankan suhu di bawah 1,5 derajat Celsius secara global," papar Alexandra Jahn, salah satu penulis penelitian.
Pada tahun 2015, negara-negara sepakat untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius.
Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan Bumi tengah menuju pemanasan hingga 3,1 derajat yang bisa menjadi bencana besar.
Arktik sendiri telah kehilangan sekitar setengah dari es lautnya, dibandingkan dengan tahun 1980-an pada akhir musim panas.
Diketahui bahwa pemanasan yang lebih tinggi telah menunda pembentukan es, dan mengakibatkan pertumbuhan es laut yang lebih tipis.
Es lebih mudah mencair dan lebih banyak mencair pada suhu yang lebih tinggi di musim semi.
Selain itu, sistem tekanan tinggi di atas Kutub Utara Tengah telah diamati menjaga udara tetap hangat di sana.
Ketika es menipis, lebih banyak badai terbentuk di musim semi dan musim panas yang dapat memecah es dan semakin mempercepat pencairan es.
Hal-hal ini terjadi selama beberapa tahun berturut-turut, yang menyebabkan pengurangan besar-besaran pada es laut Kutub Utara.
Model memproyeksikan bahwa badai dan gelombang panas akan terus meningkat di masa mendatang, karena iklim terus menghangat.
“Emisi masih meningkat, kita mengalami rekor tahun-tahun hangat dari tahun ke tahun, dan itu semua mengarah pada perubahan dalam semua aspek sistem iklim,” kata Jahn.
Hal tersebut dapat menyebabkan hari tanpa es di Arktik terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan kebanyakan orang.
"Ketika kita mencapai kondisi bebas es, sebagian besar samudera Arktik (94 persen) tidak akan memiliki s lagi. Jadi kita beralih dari samudra Arktik putih menjadi samudra Arktik biru," kata Jahn.
Baca juga: Karena Pemanasan Global, Spanyol Bisa Berubah Jadi Iklim Gurun
"Secara visual itu adalah perubahan yang sangat besar dan benar-benar menggambarkan seberapa besar gas rumah kaca antropogenik dapat mengubah lingkungan alam,” jelas Jahn lagi.
Jahn menambahkan saat Arktik bebas es, ada banyak dampak pada sistem iklim dan ekosistem, serta pada orang-orang yang tinggal di Arktik misalnya memengaruhi mereka menggunakan es laut untuk transportasi dan perburuan.
Namun, apakah itu terjadi atau tidak, masih belum jelas. Ada ketidakpastian dalam proyeksi berdasarkan model iklim. Jadi, hal itu bisa terjadi antara tiga tahun dan 50 tahun.
“Proyeksi ini bersifat probabilistik, jadi kami tidak mengatakan Arktik bebas es akan terjadi dalam tiga hingga enam tahun. Sebenarnya tiga hingga 50 tahun. Itulah yang ditunjukkan model, tergantung pada variabilitas dan kekuatan emisi global. Namun, hal itu bisa terjadi lebih awal dari yang diperkirakan orang-orang,” kata Jahn.
Untuk menghindari hari bebas es, dunia harus membatasi pemanasan global. Masih ada kemungkinan jika dunia segera bertindak, kondisi bebas es mungkin tidak akan pernah .
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya