KOMPAS.com - Masyarakat adat perlu lebih banyak terlibat dalam tata kelola lahan, termasuk restorasi, mulai dari awal sampai akhir.
Chairman Sustainable Aquatic Development Institute (SADI) Mohammad Hossein Emadi mengatakan, partisipasi masyarakat adat harus dipandang sebagai proses, bukanlah produk jadi.
Untuk itu, dunia perlu memahami masyarakat adat mulai dari prioritas sampai kekhawatiran mereka.
Baca juga: COP16 Riyadh: Perusahaan Didesak Perkuat Investasi Kesehatan Lahan
Hal tersebut disampaikan Emadi dalam salah satu sesi Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) Convention to Combat Desertification (UNCCD) di Riyadh, Arab Saudi, Jumat (6/12/2024).
"Dan memahami serta menghargai pengetahuan yang terakumulasi dari pengalaman masyarakat adat sangatlah penting, bukan hanya sebagai sebuah produk," kata Emadi.
Emadi menambahkan, tanpa mengerti dan melibatkan mereka dalam proses, dunia tidak akan bisa memahami masyarakat adat.
Pasalnya, kata Emadi, di dalam masyarakat adat tidak hanya sekadar akumulasi pengetahuan lokal yang diturunkan secara turun temurun.
"Ini merupakan gabungan dari kepentingan, gabungan dari sistem nilai, gabungan dari moralitas, gabungan dari segalanya, bahkan makanan," kata Emadi.
Baca juga: Pertanian Tak Berkelanjutan Sebabkan Degradasi Lahan, Arab Saudi Luncurkan Agenda Aksi Riyadh
Dia menyampaikan, sejauh ini tidak ada kontradiksi antara pengetahuan lokal dari masyarakat adat dengan ilmu pengetahuan yang saintifik.
Climate and Nature Lead International Land Coalition Johana von Braun mendesak pentingnya pengakuan formal dan penghargaan peran masyarakat adat serta komunitas mereka.
Menurutnya, pengakuan formal dan penghargaan tersebut menjadi gerbang penting untuk praktik restorasi lahan.
Di satu sisi, masyarakat adat sebenarnya mempunyai gerakan yang masif dalam melakukan restorasi lahan, namun upaya mereka kerap kali tidak terlihat.
"Restorasi yang kami temukan dalam praktik adat tidak bermasalah. Menurut saya (upaya restorasi dari masyarakat adat) sangat berbeda dari banyak inisiatif restorasi berskala lebih besar. Berakar pada pengetahuan adat," tutur von Braun.
Baca juga: COP16 Riyadh: Investasi Restorasi Lahan Berdampak Ekonomi 30 Kali Lipat
Upaya restorasi lahan yang mereka lakukan juga didorong oleh kebutuhan lokal mulai dari demi ketahanan pangan, perlindungan tempat-tempat suci, dan lain sebagainya.
Dia menambahkan, sebenarnya ada ribuan inisiatif restorasi berbasis masyarakat adat di dunia.
Sayangnya, inisiatif-inisiatif tersebut tidak terlihat karena sebagian besar aksi restorasi dilakukan sebagai praktik sehari-hari.
"Ketika masyarakat adat dan komunitas secara aktif terlibat dengan ekosistem lokal mereka, masalahnya bukan pada kurangnya tindakan, tetapi lebih pada membuatnya terlihat dan kemudian meningkatkannya, memberi peluang untuk benar-benar meningkatkan upaya itu," papar von Braun.
Baca juga: COP16 Riyadh Hasilkan Janji Rp 191 Triliun Atasi Kekeringan dan Degradasi Lahan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya