Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Nol Emisi ASEAN Berakibat Biaya Produksi Pangan Naik

Kompas.com - 16/12/2024, 12:00 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Laporan dari lembaga penasihat ekonomi Oxford Economics mengungkapkan, biaya produksi pangan di Asia Tenggara dapat meningkat antara 30,8 dan 58,9 persen pada tahun 2050.

Hal tersebut bisa terjadi jika langkah-langkah kebijakan untuk mencapai emisi karbon nol emisi berhasil dilaksanakan.

Laporan tersebut memaparkan agar negara-negara Asia Tenggara dapat mengubah ekonomi mereka menjadi nol emisi karbon pada 2050, mereka harus menerapkan pajak dan peraturan tambahan atas penggunaan bahan bakar fosil, yang sangat diandalkan oleh kawasan tersebut.

Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan biaya energi dan tenaga kerja yang merupakan dua pendorong utama jangka panjang biaya produksi pangan.

Baca juga:

“Risiko transisi tidak hanya akan meningkatkan tagihan bahan bakar dan listrik bagi produsen, tetapi juga untuk transportasi, penyimpanan rantai dingin, dan gudang," tulis laporan tersebut, seperti dikutip Business Times, Senin (16/12/2024).

"Harga yang lebih tinggi akan berdampak pada biaya tenaga kerja karena pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi untuk mengimbangi peningkatan biaya hidup," lanjut laporan tersebut.

Negara paling rentan

Harga pangan di Indonesia paling rentan terhadap risiko transisi, dengan biaya yang diproyeksikan akan naik sebesar 58,9 persen pada tahun 2050.

Diikuti oleh Vietnam (51,6 persen), Malaysia (38,9 persen), Thailand (31,8 persen), dan Filipina (30,8 persen).

Saat ini, harga pangan sudah meningkat di kawasan tersebut karena peristiwa cuaca ekstrem yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

Selain itu, laporan tersebut juga mencatat peningkatan suhu rata-rata sebesar 1 persen di kelima pasar penghasil pangan tersebut telah meningkatkan harga produsen pangan antara 0,96 dan 2,17 persen.

Filipina ditemukan sebagai negara yang paling rentan terhadap kenaikan suhu.

Sensitivitas ini dapat terjadi karena paparan negara tersebut terhadap peristiwa buruk terkait iklim, seperti topan, kerentanan sistem pertaniannya terhadap perubahan cuaca, dan infrastruktur yang lebih lemah untuk stabilisasi harga.

Baca juga:

Indonesia adalah negara kedua yang paling rentan, dengan harga meningkat sebesar 2 persen karena peningkatan suhu rata-rata sebesar 1 persen, diikuti oleh Malaysia (1,4 persen), Thailand (1,31 persen), dan Vietnam (0,96 persen).

Kemitraan investasi asing

Investasi asing langsung baru pun disebut menjadi kunci untuk mendorong transformasi sistem produksi pangan di kawasan tersebut.

Dengan bekerja sama dengan perusahaan investasi asing langsung sebagai mitra bisnis atau perdagangan, perusahaan lokal dapat memperoleh keahlian dan pengetahuan baru, seperti dalam pertanian cerdas iklim.

Hal ini dapat mengarah pada peningkatan efisiensi dan produktivitas, serta daya saing global bagi bisnis lokal.

Baca juga: 

Kemitraan semacam itu juga membantu membuka akses pasar yang lebih luas melalui jaringan internasional yang mapan, yang memungkinkan diversifikasi ekspor dan pertumbuhan pendapatan bagi negara-negara ASEAN.

“Namun, untuk memaksimalkan manfaat ini, otoritas harus mengatasi masalah regulasi utama yang terkait dengan kepemilikan asing, menjaga persaingan yang adil dan setara serta rezim perdagangan terbuka, secara proaktif menyediakan bantuan administratif, operasional, dan strategis bagi investor yang ada, dan memperkuat hubungan industri melalui dukungan terhadap industri domestik yang kompetitif,” demikian tulis laporan tersebut.

Laporan tersebut juga menyerukan kepada mitra pembangunan untuk membantu negara-negara ASEAN mengurangi risiko dengan berinvestasi dalam pertanian yang tahan terhadap iklim, sistem pengelolaan air, serta sistem peringatan dini untuk peristiwa cuaca ekstrem dan bencana alam.

Mereka juga dapat memainkan peran penting dalam mendukung transisi menuju emisi nol bersih di sektor pertanian dan pangan dengan menyediakan bantuan keuangan dan keahlian teknis untuk mempercepat investasi dalam energi terbarukan di negara-negara tersebut.

Baca juga: Bank Dunia Ingatkan Indonesia Berpotensi Hadapi Masalah Ketahanan Pangan

Sektor produksi pangan ASEAN sendiri semakin terintegrasi dengan jaringan produksi global, karena pangsa impor dari kawasan tersebut meningkat dari 6,6 persen pada tahun 2000 menjadi 9,1 persen pada tahun 2021.

Lebih lanjut, kenaikan harga pangan di Asia juga dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap biaya hidup secara global.

Dalam konteks ini, intervensi untuk menahan harga pangan di ASEAN akhirnya dapat berkontribusi untuk mengurangi kenaikan inflasi bagi perekonomian dunia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau