KOMPAS.com - Seiring dengan percepatan perubahan iklim, para ilmuwan memberikan peringatan tentang dampaknya yang berpotensi menghancurkan pasokan pangan dunia.
Tim peneliti internasional tersebut dalam studinya menyebut tanpa perubahan cepat dalam cara mengembangkan tanaman yang tahan terhadap iklim, kita dapat menghadapi kekurangan pangan yang meluas dan menyebabkan kelaparan, migrasi massal, dan ketidakstabilan global.
"Kita sedang berpacu dengan waktu. Tanaman yang kita andalkan untuk makanan semakin berjuang untuk bertahan hidup dari cuaca ekstrem, mulai dari gelombang panas hingga kekeringan dan banjir," kata Silvia Restrepo, dari Boyce Thompson Institute (BTI), New York AS.
Baca juga:
"Sementara itu, pendekatan yang kita lakukan saat ini untuk mengembangkan tanaman menjadi lebih tangguh tidak berjalan cukup cepat," paparnya lagi.
Seperti dikutip dari Phys, Sabtu (7/12/2024) tanaman juga tidak hanya berjuang melawan suhu yang lebih tinggi tetapi juga menghadapi wabah hama dan penyakit yang lebih sering terjadi.
Bahkan ketika tanaman bertahan hidup dari tantangan ini, perubahan iklim dapat mengurangi nilai gizinya.
Sedangkan pertanian sendiri berkontribusi terhadap sekitar 26 persen emisi gas rumah kaca global, sehingga menciptakan lingkaran setan.
Peneliti dalam studinya kemudian menguraikan rekomendasi solusi untuk mengatasi krisis tersebut, yaitu menciptakan inisiatif penelitian global yang mempertemukan para ilmuwan dari negara maju dan berkembang untuk berbagi sumber daya dan keahlian
Lainnya adalah mempelajari tanaman dalam kondisi dunia nyata, bukan hanya di laboratorium yang terkontrol, membangun kemitraan yang lebih kuat antara ilmuwan laboratorium dan petani, membangun kepercayaan publik dan penerimaan terhadap teknologi pengembangan tanaman baru.
Kemudian menyederhanakan peraturan untuk mempercepat penerapan solusi inovatif.
Lebih lanjut, meski pertanian berperan penting dalam kelangsungan hidup manusia, hanya sekitar 4 persen dari pendanaan iklim global atau sekitar 35 miliar dollar per tahun yang digunakan untuk mengembangkan sistem pangan yang tahan terhadap iklim.
Baca juga:
Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar penelitian ini berfokus pada pertanian skala besar di negara maju, meninggalkan pertanian skala kecil dan negara berkembang.
"Kita perlu memikirkan kembali sepenuhnya cara kita menghadapi tantangan ini," ungkap Andrew Nelson, penulis lain dalam studi.
"Daripada memulai di laboratorium dan berharap solusinya berhasil di lapangan, kita harus mulai dengan memahami tantangan nyata petani di dunia nyata dan kemudian bekerja mundur untuk mengembangkan solusi praktis," tambahnya.
Para peneliti menekankan bahwa keberhasilan akan membutuhkan kolaborasi yang belum pernah terjadi sebelumnya antara ilmuwan, petani, pembuat kebijakan, dan masyarakat.
Mereka juga menekankan pentingnya membuat teknologi baru dapat diakses oleh semua wilayah, khususnya di belahan bumi selatan, tempat dampak iklim sering kali terasa paling parah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya