Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/12/2024, 09:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyoroti pentingnya melibatkan warga lokal dalam pembuatan kebijakan terkait penyelamatan pesisir Jawa Tengah.

Lembaga tersebut menilai, pelibatan masyarakat sangat penting karena selama ini solusi-solusi yang diberikan sering tidak relevan dengan kondisi lapangan, sehingga berdampak pada kehidupan warga lokal.

Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati Romica mencontohkan, kasus banjir rob yang melanda Semarang ditangani dengan pembangunan tanggul raksasa, yang menurutnya memperparah kondisi Demak dan daerah pesisir sekitarnya.

Baca juga: Luncurkan Pusat Penelitian Rumput Laut di Bali, PT SIWA Dorong Pengembangan Ekonomi Pesisir

Susan menjelaskan air yang terhalang tanggul mengalir ke wilayah yang lebih rendah, menenggelamkan desa-desa tanpa pertimbangan dampak sosial dan ekologis.

"Solusi ini bukan hanya tidak berbasis pengetahuan lokal, tetapi juga merampas ruang hidup masyarakat pesisir," ujar Susan, sebagaimana dilansir Antara, Kamis (12/12/2024).

Dia menambahkan proyek-proyek semacam itu juga telah mengubah pola aliran air dan memusnahkan ekosistem mangrove yang sebelumnya melindungi pesisir.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media di Jateng, Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) yang dianggap sebagai miniatur Giant Sea Wall di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura) ini telah menghabisi 42,6 hektare hutan mangrove.

Baca juga: Rembuk Perempuan Pesisir Dorong Layanan Air Bersih hingga Pengelolaan Sampah

Menurut Susan, proyek-proyek besar, seperti reklamasi dan tanggul laut dirancang di Jakarta dengan basis kajian teknokratis yang sering kali tidak relevan dengan kondisi lapangan.

Dia menyebutkan Jawa Tengah, salah satu wilayah pesisir yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, kini berada di titik kritis. Ancaman tenggelam bukan lagi sekadar proyeksi masa depan, melainkan kenyataan yang perlahan menjadi nyata.

"Setidaknya sudah terjadi di beberapa wilayah pesisir. Sejumlah desa di pesisir Jateng hilang dari peta. Di Kabupaten Demak, desa-desa seperti Timbulsloko, Bedono, dan Sriwulan kini berubah menjadi rawa atau lautan," kata Susan.

Kemudian di Pekalongan, Desa Tirto dan Wonokerto tenggelam akibat abrasi yang semakin parah. Sedangkan di Brebes, Desa Pandan Sari menghadapi nasib serupa.

Baca juga: Komitmen Selamatkan Ekosistem Pesisir, Bulog Tanam 570 Mangrove di Bali

Di satu sisim Masnuah dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menjelaskan banjir rob tidak hanya menghancurkan desa-desa pesisir, tetapi juga mata pencaharian warga.

"Anak-anak sekarang tidak lagi bermimpi menjadi nelayan. Pergi melaut sudah tidak menjanjikan. Nelayan kehilangan ruang hidupnya akibat reklamasi besar-besaran," jelasnya.

Masnuah menambahkan upaya masyarakat pesisir untuk bertahan sering kali dianggap tidak penting oleh pemerintah.

Program konservasi mangrove yang mereka lakukan secara swadaya tidak mendapat dukungan memadai. Bahkan,bantuan sosial dari perusahaan yang merusak lingkungan sering kali diterima dengan berat hati sebagai bentuk ironi.

Baca juga: Citra Satelit Bisa Bantu Lindungi Hutan Pesisir dari Perubahan Iklim

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau