Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WHO: Kasus Malaria Melonjak dalam 5 Tahun Terakhir akibat Krisis Iklim

Kompas.com, Diperbarui 16/12/2024, 10:53 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber Guardian

KOMPAS.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, kasus malaria melonjak dalam lima tahun terakhir akibat krisis iklim, serta resistansi terhadap obat-obatan dan insektisida. Akibatnya, hampir 600.000 orang di dunia meninggal pada 2023.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, ada 263 juta kasus malaria pada 2023. Angka ini lebih tinggi dibandingkan 2022, di mana 94 persen kasus berada di Afrika.

“Tidak seorang pun seharusnya meninggal karena malaria. Namun penyakit ini terus membahayakan orang-orang yang tinggal di wilayah Afrika, terutama anak-anak kecil dan wanita hamil," ujar Tedros dikutip dari The Guardian, Senin (16/12/2024).

Baca juga:

Dia menjelaskan, sebanyak 4 miliar dollar AS telah dialokasikan untuk mengatasi malaria secara global. Tetapi, pendanaan yang kurang dinilai menyebabkan kesenjangan penyediaan obat-obatan dan kelambu berinsektisida.

Pihaknya mencatat, hanya 45 persen wanita hamil di Afrika sub Sahara yang bisa mendapatkan tiga dosis terapi pencegahan malaria. Kelompok yang paling rentan justru sering kali tidak mendapatkannya.

Nenurut WHO, hal ini dikarenakan sekitar 80 juta orang di negara-negara tempat malaria ditemukan merupakan pengungsi dan sulit mendapatkan akses pelayanan pencegahan maupun pengobatan.

"Saat ini ada paket peralatan penyelamat jiwa yang melindungi dari penyakit tersebut. Namun diperlukan lebih banyak investasi dan tindakan di negara-negara Afrika dengan tingkat tertinggi," ungkap Tedros.

Kini, WHO sudah mensertifikasi 44 negara dan satu wilayah sebagai negara bebas malaria. Ada 83 negara yang menganggap malaria sebagai penyakit endemik, dengan 25 di antaranya melaporkan kurang dari 10 kasus per tahun.

Krisis Iklim sebabkan Lonjakan Kasus

Di sisi lain, WHO menyebut, krisis iklim yang terjadi menyebabkan banjir dan membuat nyamuk mudah berkembang biak.

"Kondisi itu mengganggu akses layanan kesehatan di negara seperti Pakistan dan Madagaskar," kata WHO dalam laporannya.

Laporan terpisah dari Malaria Atlas Project dan Boston Consulting Group mengungkapkan, Afrika bakal mengalami lebih dari 550.000 kematian tambahan akibat malaria di Afrika di 2030-2049 akibat banjir serta siklon.

Baca juga:

"Resistensi terhadap obat-obatan yang selama ini menjadi pengobatan standar emas untuk malaria sedang menyebar, dan nyamuk semakin resistan terhadap insektisida yang digunakan untuk kelambu," ucap para peneliti.

Kendati begitu, baksin malaria untuk anak di 17 negara sejauh ini dinilai menurunkan angka kematian hingga 13 persen. Laporan tersebut juga menyarankan pengembangan kelambu baru yang lebih efektif dengan menggunakan banyak jenis insektisida untuk melawan resistansi.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau