KOMPAS.com - Universitas Teknik Munich (TUM), Jerman dan ETH Zurich, Swiss menyatakan bahwa mengekspor produk pertanian dari wilayah tropis ke China, AS, Timur Tengah, dan Eropa menimbulkan lebih banyak dampak negatif bagi keanekaragaman hayati daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Kesimpulan ini didapat setelah peneliti melacak bagaimana ekspor pertanian dari tahun 1995 hingga 2022 telah memengaruhi perubahan penggunaan lahan di negara-negara produsen.
Dikutip dari Phys, Jumat (20/12/2024) sudah lama diketahui bahwa penggunaan lahan intensif di wilayah tropis berdampak pada keanekaragaman hayati lokal, tetapi peran perdagangan telah diremehkan.
Namun studi yang dimuat di Nature Sustainability ini kini menunjukkan perdagangan internasional telah menyebabkan lebih dari 90 persen kerugian yang terjadi antara tahun 1995 dan 2022 akibat alih fungsi lahan alami menjadi lahan pertanian.
Baca juga:
Dalam studinya, tim menggunakan data yang menguraikan ekonomi global menjadi sektor, wilayah, dan dampak ekologis.
Peneliti juga menggunakan data satelit untuk mempertimbangkan seluruh pengembangan suatu wilayah, termasuk setelah pertanian berhenti.
Sementara model lama tidak memperhitungkan area terlantar tersebut.
Hilangnya spesies secara permanen dan waktu yang dibutuhkan ekosistem untuk pulih tidak tercermin pula dalam model sebelumnya.
Lebih lanjut, penelitian baru kemudian memetakan arus perdagangan dan bagaimana arus tersebut memengaruhi penggunaan lahan di berbagai wilayah.
Lebih dari 80 persen perubahan penggunaan lahan di Amerika Latin, Karibia, Afrika, Asia Tenggara, dan wilayah Pasifik selama periode penelitian disebabkan oleh peningkatan ekspor pertanian.
Negara-negara pengimpor utama barang-barang ini adalah China (26 persen), AS (1 persen), Timur Tengah (13 persen), dan Eropa (8 persen).
Keuntungan Negara Pengimpor
Bagi banyak negara pengimpor, pengalihdayaan pertanian memiliki keuntungan nyata yaitu dampak negatif pada keanekaragaman hayati domestik menurun karena lebih sedikit lahan yang digunakan untuk pertanian.
Selain itu ada juga peningkatan dalam tindakan konservasi dan pemulihan. Hal ini berlaku untuk negara-negara seperti Spanyol, Italia, Yunani, dan AS.
Baca juga:
Pada saat yang sama, meskipun hilangnya keanekaragaman hayati akibat konsumsi domestik telah menurun di Brasil dan Meksiko, kerugian secara keseluruhan telah meningkat karena meningkatnya ekspor pertanian.
"Ini adalah temuan yang mengkhawatirkan, karena ancaman terhadap keanekaragaman hayati global per meter persegi di wilayah tropis seratus kali lebih tinggi daripada di negara-negara pengimpor," kata Livia Cabernard, Profesor Penilaian Keberlanjutan Sistem Pangan dan Pertanian di TUM.
Hilangnya spesies yang disebabkan dengan cara ini telah diremehkan sebagai suatu masalah.
"Keterkaitan antara perdagangan global dan hilangnya keanekaragaman hayati sangat kompleks tetapi sangat penting. Kita perlu memikirkan dampak lingkungan dalam skala global dan menggabungkan berbagai langkah untuk mengembangkan pengungkit yang efektif," paparnya lagi.
Selain itu, mendukung pertanian domestik di negara-negara seperti Jerman dan Swiss, memastikan rantai pasokan yang transparan, dan penetapan harga yang mencerminkan kerusakan ekologis akan menjadi langkah-langkah penting untuk menghindari hilangnya spesies di daerah-daerah rawan tersebut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya