KOMPAS.com - Ekspor biomassa kayu berupa wood chips (potongan kayu kecil) dan wood pellet (pelet kayu) dari Indonesia ke Jepang melonjak ribuan persen dalam sekitar 10 tahun terakhir.
Menurut temuan lembaga think tank Center of Economic and Law Studies (Celios), sejak 2012 hingga 2023, ekspor wood chips ke Jepang melonjak 4.377,5 persen.
Sementara ekspor wood pellet ke Jepang meroket hingga 254.275 persen atau 2.500 kali lipat lebih dalam kurun waktu yang sama.
Baca juga: PLTU Lontar Manfaatkan Sampah Biomassa Jadi Bahan Bakar
Temuan tersebut diungkap Celios dalam studi terbarunya berjudul Jerat Ambisi Hijau pada Hutan: Transisi Energi Jepang dan Ekspor Ilegal Biomassa yang Merugikan Indonesia.
Peningkatan ekspor wood pellet dan wood chips ke Jepang tak lepas dari rencana perluasan "Negeri Sakura" dalam energi berbasis biomassa.
Jepang memiliki ambisi biomassa didasarkan pada strategi Green Transformation untuk komitmen iklim. Perluasan konsumsi biomassa untuk pembangkitan listrik juga berperan menggantikan peran pembangkit nuklir paska kejadian Fukushima.
Di samping itu, Jepang juga memberlakukan regulasi feed-in tariff atau patokan harga tenaga listrik dari sumber energi terbarukan berdasarkan komponen biaya produksi.
Kapasitas pembangkit biomassa di Jepang telah tercapai sepuluh tahun lebih cepat dari targetnya.
Baca juga: Biomassa Jadi Jembatan Penting Menuju Percepatan Transisi Energi
Kondisi tersebut menciptakan target peningkatan pembelian bahan baku biomassa Jepang dalam skala yang sangat ambisius.
Di sisi lain, harga jual biomassa ke luar negeri jauh lebih tinggi dibandingkan pasar domestik.
Menurut temuan Celios, harga biomassa dalam negeri paling tinggi sekitar Rp 600 ribu per ton.
Sementara hasil temuan Celios yang lain, harga wood pellet dan wood chips dari salah satu perusahaan berkisar 90-130,86 dollar AS per ton atau sekitar Rp 1,4 juta sampai Rp 2 juta per ton.
"Produsen biomassa di Indonesia lebih memilih untuk menjual produk biomassa ke pasar global. Pilihan ini diambil karena harga domestik belum mampu bersaing dengan harga di pasar global," tulis tim penulis Celios dalam laporan tersebut.
Baca juga: Kembangkan Biomassa, PLN Tanam 30.000 Pohon Indigofera di Tasikmalaya
Peneliti Celios Viky Arthiando Putra mengatakan, pada rentang tahun yang sama, ada selisih mencolok dalam data perdagangan kayu antara Indonesia dan Jepang.
Terdapat selisih impor produk wood chips (HS440122) yang tercatat mencapai 3,04 juta ton atau setara 153,9 juta dollar AS.
Sementara wood pellets (HS440131) selisih volumenya sebesar 19.547 ton atau setara 5,1 juta dollar AS.
"Ketidaksesuaian ini memicu kekhawatiran adanya potensi celah praktik ilegal dalam rantai pasok biomassa kayu yang merugikan," kata Viky, dikutip dari situs web Celios.
Kerugian yang dimaksud adalah potensi bea keluar yang tidak optimal, kepatuhan pajak rendah, dan risiko deforestasi yang tidak tercatat.
Baca juga: Teknologi PLTU di Indonesia Mampu Serap Target Co-firing Biomassa
Selisih ekspor yang terlalu besar juga memicu kekhawatiran bahwa biomassa Indonesia hanya digunakan sebagai pencapaian target emisi di Jepang.
Temuan selisih data ekspor wood pellet dan wood chips ditanggapi oleh Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Farid Amir.
Amir menuturkan, kemungkinan ada ekspor ilegal atau penyelundupan melalui jalur tikus.
Selain itu ada kemungkinan beberapa isu diskrepansi data, misalnya pergeseran lokasi pelabuhan bongkar muat yang berimbas adanya perubahan pencatatan pada bea cukai.
"Namun selisih tonase tersebut perlu untuk dikawal dan ditindaklanjuti," kata Amir dikutip dari situs web Celios.
Baca juga: Biomassa Kelapa Sawit Bisa Jadi Bahan Baku Ban dan Pembangkit Tenaga Listrik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya