Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Pengaruh China, Permintaan Batu Bara Global Alami Titik Jenuh Hingga 2027

Kompas.com, 26 Desember 2024, 13:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) memprediksi permintaan batu bara global mencapai titik jenuh hingga 2027.

Perkiraan tersebut disampaikan IEA dalam laporan market batu bara terbarunya, Coal 2024 yang dirilis baru-baru ini.

Konsumsi batu bara global sendiri bangkit kembali dengan kuat setelah anjlok pada puncak pandemi. Pada 2024, permintaan batu bara sempat mencapai titik tertinggi yakni 8,77 miliar ton.

Baca juga: Kapasitas PLTU Captive RI Diprediksi Salip Pembangkit Batu Bara Australia

Menurut laporan tersebut, permintaan batu bara akan berkisar di angka tersebut hingga tahun 2027.

Pada 2027, permintaan batu bara global diperkirakan mencapai titik puncaknya yakni sekitar 8,87 miliar ton.

Salah satu faktor dari jenuhnya permintaan batu bara global adalah tingginya penetrasi pembangkit energi terbarukan di China.

Untuk diketahui, sektor ketenagalistrikan di China sangat penting bagi pasar batu bara global. Satu dari setiap tiga ton batu bara yang dikonsumsi di seluruh dunia dibakar di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di negara tersebut. 

Pada 2024, China terus mendiversifikasi sektor ketenagalistrikannya dengan memajukan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dan mempercepat perluasan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangit listrik tenaga bayu (PLTB).

Baca juga: Potensi Rp 353,7 Triliun, Pungutan Batu Bara Bisa Dipakai untuk Transisi Energi

Di sisi lain, IEA juga meskipun juga menyoroti sejumlah ketidakpastian utama dalam analisisnya.

Pasalnya, konsumsi listrik di sejumlah negara tumbuh pesat karena kombinasi berbagai faktor seperti elektrifikasi transportasi dan pemanas serta meningkatnya perkembangan teknologi seperti pusat data. 

Selain itu, pola cuaca dapat mendorong fluktuasi konsumsi batu bara dalam jangka pendek. 

Menurut laporan IEA, permintaan batu bara di China pada 2027 dapat mencapai 140 juta ton lebih tinggi atau lebih rendah dari perkiraan karena intermitensi pembangkit energi terbarukan.

Direktur Pasar dan Keamanan Energi IEA Keisuke Sadamori mengatakan, permodelan yang dilakukan menunjukkan permintaan global untuk batu bara akan mencapai titik jenuh hingga tahun 2027 meskipun konsumsi listrik meningkat tajam.

Baca juga: China Bakal Perketat Aturan Emisi Metana dari Batu Bara

"Namun, faktor cuaca akan berdampak besar pada tren jangka pendek untuk permintaan batu bara. Kecepatan pertumbuhan permintaan listrik juga akan sangat penting dalam jangka menengah," kata Sadamori, dikutip dari siaran pers, Rabu (18/12/2024).

Di sebagian besar negara maju, permintaan batu bara telah mencapai puncaknya dan diperkirakan akan terus menurun hingga 2027. 

Sementara itu, permintaan batu bara masih meningkat di beberapa negara berkembang di mana permintaan listrik meningkat tajam seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi. Contohnya seperti India, Indonesia, dan Vietnam.

Baca juga: PLN IP Manfaatkan Limbah Uang Kertas BI untuk Campuran PLTU Batu Bara 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau