Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yayasan Konservasi Alam Nusantara
Organisasi Nirlaba

Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) adalah organisasi nirlaba berbasis ilmiah yang hadir di Indonesia sejak 2014.

Memiliki misi melindungi wilayah daratan dan perairan sebagai sistem penyangga kehidupan, kami memberikan solusi inovatif demi mewujudkan keselarasan alam dan manusia melalui tata kelola sumber daya alam yang efektif, mengedepankan pendekatan nonkonfrontatif, serta membangun jaringan kemitraan dengan seluruh pihak kepentingan untuk Indonesia yang lestari. Untuk informasi lebih lanjut kunjungi www.YKAN.or.id.

Menjaga Hutan Kalimantan Utara

Kompas.com - 09/01/2025, 13:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Ghufran Zulqhisti dan Musnanda Satar

SEBAGAI salah satu provinsi termuda, Kalimantan Utara atau Kaltara merupakan secercah harapan dalam memitigasi dampak perubahan iklim sekaligus melestarikan keanekaragaman hayati.

Provinsi yang berbatasan langsung dengan Negeri Jiran itu, hingga saat ini masih memiliki luas hutan tropis yang masih terjaga.

Dalam suatu kajian yang dilakukan organisasi nirlaba berbasis ilmiah, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bersama mitra, diketahui Kaltara merupakan provinsi dengan persentase tutupan hutan tertinggi di Kalimantan.

Luasnya mencapai 5,49 juta hektare (Ha) atau 78,48 persen dari luas wilayah administrasinya.

Persentase tutupan hutan merujuk pada proporsi luas hutan terhadap luas wilayah keseluruhan suatu daerah atau negara, yang menjadi indikator untuk mengukur kondisi kelestarian hutan dan lingkungan hidup.

Untuk tetap menjaga kelestarian alam Kaltara di tengah desakan pembangunan, YKAN bersama pelbagai pihak termasuk Universitas Mulawarman melakukan kajian berbasis bentang alam dengan pendekatan Development by Design (DbD).

Pendekatan ini mencoba mengintegrasikan perencanaan konservasi bentang alam dengan penerapan hierarki mitigasi, untuk memastikan offset keanekaragaman hayati selaras dengan prinsip Pembangunan Berkelanjutan.

Offset keanekaragaman hayati atau melestarikan alam pengganti di tempat lain adalah langkah terakhir dalam mitigasi kerusakan ekosistem yang disebabkan proyek pembangunan.

Ini dilakukan setelah lebih dulu menghindari, meminimalkan, memulihkan, dan merehabilitasi kerusakan alam yang terdampak dari proyek tersebut.

Konsep mitigasi ini serupa dengan yang digunakan organisasi konservasi lingkungan hidup internasional (IUCN), program lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNEP), World Bank dan lembaga dunia lainnya.

Tujuannya untuk memastikan bahwa kegiatan pembangunan dilakukan dengan penerapan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam mengurangi risiko kehilangan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan dan bencana.

Di Kaltara terdapat beberapa isu konservasi seperti dukungan kegiatan usulan kawasan hutan adat dari Masyarakat Hukum Adat (MHA) Punan Batu Benau Sajau, kegiatan Perhutanan Sosial, serta kegiatan pengembangan Integrated Area Development (IAD) atau Pembangunan Area Terpadu.

Pendekatan Development by Design

Pendekatan DbD diadopsi dari pendekatan yang sama, yang dilakukan oleh organisasi konservasi dunia The Nature Conservancy.

Dalam konteks Kaltara, kajian ini bertujuan memberikan masukan bagi para pemangku kepentingan mengenai pengelolaan kawasan bentang alam secara berkelanjutan.

Dengan begitu harapannya, pemerintah bisa lebih berhati-hati dalam menerbitkan ijin untuk konversi maupun penggunaan lahan.

Sebelum memulai kajian DbD, beberapa kajian awal dilakukan sebagai baseline, yaitu kajian High Conservation Value (HCV), kajian High Carbon Stock (HCS), dan kajian Human Modification Index (HMI) di Kaltara.

Tiga kajian ini dilapisi dengan data-data tutupan hutan serta zonasi kawasan berdasarkan Rencana Tata Ruang.

Baseline awal yang dibangun adalah kajian Areal dengan Nilai Konservasi Tinggi (ANKT) atau sama dengan kajian HCV Tingkat Provinsi Kaltara yang dilakukan YKAN dengan Universitas Mulawarman.

Kajian ini menyimpulkan bahwa wilayah dengan Nilai Konservasi Tinggi untuk Keanekaragaman Hayati Penting seluas 3.656.939,70 Ha atau sebesar 48,46 persen dari total luas wilayah, dan memiliki Nilai Konservasi Tinggi untuk Bentang Lahan dan Dinamika Alami seluas 4.578.243,92 Ha atau sebesar 60,66 persen dari total luas provinsi.

Kajian HCV juga menjabarkan beberapa ekosistem penting seperti ekosistem hutan sub-pegunungan dan hutan dataran rendah yang didominasi famili Dipterocarpaceae belum mengalami kehilangan yang signifikan sejak tahun 1990.

Sementara ekosistem gambut, karst, rawa dan mangrove termasuk ke dalam ekosistem langka, namun belum masuk ke dalam kategori ekosistem terancam punah.

Terakhir ekosistem unik seperti hutan pantai, hutan riparian, ekosistem kerangas dan litoral telah masuk dalam kategori ekosistem langka dan terancam punah.

Sedangkan hasil dari kajian High Carbon Stock (HCS) menyimpulkan bahwa terjadi penurunan luas area dengan stok karbon tinggi di Provinsi Kaltara.

Tercatat adanya penurunan sebesar 6,35 persen dari 6.234.464,17 Ha di tahun 1990 menjadi 5.838.378,18 Ha di tahun 2021.

Penurunan luas area dengan stok karbon tinggi terbesar terjadi di Kota Tarakan, yakni sebesar 40,10 persen di mana pada tahun 1990 seluas 9.230,83 Ha menjadi 5.529,37 Ha di tahun 2021.

Sementara kajian internal yang dilakukan YKAN dengan metode HMI dilakukan untuk melihat dampak kegiatan manusia terhadap biosfer, dengan mengukur intensitas dan pola perubahan kegiatan manusia.

Pemahaman mengenai analisis HMI ini dapat membantu memahami perubahan lanskap di Kaltara dan memberikan informasi penting untuk perencanaan dan pengelolaan lingkungan.

Pemetaan ini juga memfasilitasi identifikasi area prioritas konservasi berdasarkan tingkat modifikasi manusia yang rendah.

Analisis HMI memungkinkan pemantauan perubahan jejak “Human Footprint” di masa depan sehingga dapat digunakan untuk membantu penyusunan skenario mitigasi.

Kajian HMI secara spasial memperkuat hasil kajian HCS di mana wilayah-wilayah seperti Kota Tarakan memiliki jejak footprint kegiatan manusia atau sebanding dengan kegiatan pembangunan tertinggi.

Skenario mitigasi dari DbD

Proses penyusunan skenario dilakukan dengan menggunakan data-data yang telah dipaparkan sebelumnya. Selain tiga baseline, skenario mitigasi dikembangkan juga dengan mempertimbangkan rencana pembangunan dalam Rencana Tata Ruang Pemerintah.

Skenario disusun dengan membagi wilayah atas beberapa kategori. Pertama, wilayah yang harus dihindari (avoid), yaitu kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung oleh pemerintah, kawasan intact forest dengan nilai HMI 0, dan kawasan HCV di dalam konsesi hutan dan perkebunan.

Kemudian skenario kedua, yaitu wilayah yang harus diminimalkan (minimize). Ini mencakup kawasan yang masuk nilai HCV dan memiliki tutupan hutan pada wilayah hutan produksi, wilayah perhutanan sosial, serta wilayah potensi perhutanan sosial.

Sedangkan skenario ketiga, yaitu wilayah yang dipulihkan (restore), antara lain kawasan lindung dan konservasi yang terdegradasi, kawasan HCV yang terdegradasi termasuk juga kawasan sepadan Sungai yang kehilangan tutupan hutan.

Skenario DbD juga memberikan rekomendasi di mana kawasan yang sudah terbangun serta wilayah lahan cadangan.

Mengacu pada ketiga skenario tadi, hasil kajian berbasis bentang alam yuridiksi Kaltara menyebutkan setidaknya 71 persen atau seluas 5,4 juta Ha kawasan berhutan di provinsi tersebut sebaiknya tidak dikonversi atau dalam hirarki mitigasi disebut dengan avoid.

Sementara seluas 17 persen lainnya harus dikelola dengan meminimalkan dampak dan menerapkan prinsip berkelanjutan.

Sedangkan sisanya seluas 12 persen, merupakan kawasan yang sudah terbangun untuk pembangunan termasuk perkebunan skala besar.

Kajian kemudian menyusun rekomendasi yang lebih detail dengan menggunakan beberapa skenario berdasarkan kondisi wilayah dan baseline data yang dibangun.

Selama ini, pembangunan kerap menjadi momok dalam upaya pelestarian lingkungan. Namun, melalui kajian dengan pendekatan DbD, justru memberikan rekomendasi pilihan skenario jangka panjang yang lebih baik.

Pembangunan Kaltara sebagai provinsi dengan nilai-nilai konservasi tinggi perlu memastikan bahwa rencana pembangunan ke depan dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan.

Hasil Kajian DBD ini dapat digunakan untuk memandu proses penyusunan perencanaan pembangunan secara lebih baik, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan dapat dilakukan pada wilayah dengan risiko kerusakan yang terkecil.

Tugas besar berikutnya adalah bagaimana mengadopsi rekomendasi ini dalam kebijakan pengelolaan ruang dan wilayah di Kaltara.

Sehingga ekspansi pembangunan dalam jangka panjang di Provinsi tersebut tetap menjaga kelestarian alam khususnya menjaga tutupan hutan, baik hutan dataran rendah, hutan mangrove dan hutan rawa.

Dengan begitu, Hutan Kaltara akan tetap terjaga.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau