Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biaya Cuaca Ekstrem 2024 Capai 550 Miliar Dollar AS

Kompas.com - 09/01/2025, 17:13 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Edie

KOMPAS.com - Laporan tahunan Global Water Monitor mengonfirmasi bahwa biaya ekonomi akibat peristiwa cuaca ekstrem terkait presipitasi atau curah hujan pada tahun 2024 mencapai 550 miliar dollar AS.

Serangkaian peristiwa yang paling merugikan adalah badai dahsyat yang melanda wilayah tenggara AS selama September dan Oktober. Kejadian itu menelan biaya hingga 500 miliar dollar AS.

Sementara biaya terkait dengan Topan Yagi yang melanda Asia Tenggara saat musim panas diperkirakan mencapai 17 miliar dollar AS.

Selain itu, bencana terkait air tersebut menewaskan lebih dari 8.700 orang dan menyebabkan 40 juta orang mengungsi selama tahun 2024.

Baca juga: Studi: Perubahan Iklim Tingkatkan Kekerasan Terhadap Perempuan

Mengutip Edie, Kamis (9/1/2025), peneliti di Global Water Monitor menyimpulkan bahwa berbagai bencana tersebut terjadi karena kekacauan siklus air planet yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Bagaimana itu bisa terjadi?

Udara yang lebih hangat menahan lebih banyak uap air, menyebabkan hujan yang lebih deras.

Laut yang lebih hangat juga menyediakan lebih banyak energi untuk badai dan topan. Di tengah Bumi yang memanas, pola curah hujan berubah.

Laporan ini juga mencatat bahwa wilayah tertentu mengalami kelebihan curah hujan sementara yang lain mengalami kekeringan.

Kekeringan parah melanda lembah sungai Amazon dan Afrika Selatan selama musim panas. Pada saat yang sama, musim hujan di Bangladesh menyebabkan setengah juta orang mengungsi.

Baca juga: Segudang Manfaat Bambu untuk Solusi Perubahan Iklim: Serap Emisi hingga Pengganti Baja

Lebih lanjut, rekor curah hujan bulanan tercetak 27 persen lebih sering pada 2024 dibandingkan tahun 2000 dan rekor curah hujan harian ditetapkan 52 persen lebih sering.

Rekor harian tersebut banyak tercetak Asia Selatan, selain di beberapa wilayah Eropa seperti Prancis dan Inggris.

Berdasarkan data bulanan dan harian, rekor terendah curah hujan ditetapkan 38 persen lebih sering pada 2024 dibandingkan tahun 2020.

Hal tersebut menyebabkan penyimpanan air di danau dan waduk seluruh dunia menurun selama lima tahun berturut-turut, dengan Amerika Selatan menjadi yang paling terdampak.

“Laporan ini memperkuat pesan yang jelas, yakni seiring dengan pemanasan global, tantangan terkait dengan air meningkat dari tahun ke tahun,” demikian laporan tersebut.

Laporan juga memperingatkan bahwa situasi secara global tidak mungkin membaik pada tahun 2025 dan cenderung memburuk.

Hal ini karena suhu global kemungkinan akan terus meningkat pada 2025, memicu badai yang lebih dahsyat dan peristiwa terkait curah hujan ekstrem lainnya.

Wilayah yang sudah berisiko mungkin akan mengalami banjir bandang dan/atau kekeringan, termasuk Eropa.

Baca juga: East Ventures Bidik Perusahaan yang Bergerak di Teknologi Iklim

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau