KOMPAS.com - Suhu rata-rata perairan pesisir China kembali memecahkan rekor untuk dua tahun secara berturut-turut.
Sepanjang 2024, suhu di zona tersebut mencapai 21,50 derajat celsius, menurut laporan dari Pusat Prakiraan Lingkungan Laut Nasional China, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (14/1/2025).
Sedangkan pada 2023, suhu rata-rata lautan di pesisir di China yakni 21,35 derajat celsius atau lebih rendah 0,15 derajat celsius dibandingkan 2024.
Baca juga: Selain India, China Nobatkan 2024 Jadi Tahun Terpanas
Di sisi lain, suhu rata-rata perairan pesisir sepanjang 2024 lebih tinggi 1,16 derajat celsius dibandingkan rata-rata normal pada periode 1981 sampai 2010.
Pusat Prakiraan Lingkungan Laut Nasional China mengatakan, laut yang memanas akan menyebabkan cuaca ekstrem lebih sering terjadi.
Badan tersebut memperingatkan warganya untuk waspada dan menyebut ada ancaman terhadap mata pencaharian.
"Pemanasan laut berkontribusi terhadap sepertiga kenaikan muka air laut global. Daerah pesisir dan dataran rendah menghadapi risiko yang semakin serius terkait dengan kenaikan muka air laut, seperti erosi tanah," kata badan tersebut.
Baca juga: China Akan Miliki PLTA Terbesar di Dunia, Kalahkan Rekornya Sendiri
Pusat tersebut mengatakan akan memantau secara ketat suhu laut pada 2025.
Sebelumnya, China juga mengumumkan bahwa 2024 merupakan tahun terpanas di negara tersebut sepanjang sejarah pencatatan yang dimulai sekitar 60 tahun lalu.
Administrasi Meteorologi China melaporkan, suhu rata-rata selama 2024 mencapai 10,92 derajat celsius.
Suhu tersebut lebih tinggi 1,03 derajat bila dibandingkan temperatur rata-rata selama setahun pada 2023.
Baca juga: Ada Pengaruh China, Permintaan Batu Bara Global Alami Titik Jenuh Hingga 2027
"Tahun terhangat sejak dimulainya pencatatan lengkap pada 1961," kata Administrasi Meteorologi China, sebagaimana dilansir AFP, Rabu (1/1/2025).
China sendiri menggambarkan negaranya sebagai salah satu negara paling rentan terhadap perubahan iklim.
"Negeri Panda" juga menghadapi tekanan yang semakin besar untuk beradaptasi dengan berbagai dampak perubahan iklim seperti pola cuaca yang berubah dengan cepat dan permukaan laut yang naik lebih cepat dari rata-rata global.
Tahun lalu, negara tersebut menghadapi serangkaian peristiwa cuaca ekstrem, mulai dari Topan Super Yagi di Hainan pada September hingga badai terkuat yang melanda Shanghai sejak tahun 1949.
Baca juga: AS, China, dan India Penyumbang Emisi Karbon Terbesar dari Pariwisata
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya