KOMPAS.com - Industri keuangan digital atau financial technology (fintech) berpeluang mengisi ceruk pembiayaan berkelanjutan di sektor mikro.
Pasalnya, pembiayaan yang ditawarkan dari fintech biasanya memiliki jumlah yang cenderung kecil dan dengan jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Selain itu, ada fintech yang mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman secara langsung atau peer to peer lending.
Baca juga: Kilang Pertamina Internasional Bakal Produksi Avtur Berkelanjutan
Di sisi lain, pembiayaan berkelanjutan yang digarap oleh lembaga keuangan konvensional seperti perbankan memiliki jumlah yang besar dengan jangka waktu yang lama. Seperti contohnya pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Moneter Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan, fintech bisa menyasar individu atau komunitas untuk pembiayaan hijau.
Contohnya seperti pembangkitan energi terbarukan skala mikro atau pengelolaan bank sampah.
"Komunitas lokal seperti komunitas bank sampah itu cukup berpotensi, karena mereka butuh model kerja seperti itu (pembiayaan yang kecil dan jangka waktu pendek)," kata Telisa saat dihubungi Kompas.com, Selasa (14/1/2025).
Baca juga: Bagaimana UEFA Membuat Sepak Bola Eropa Berkelanjutan?
Di sisi lain, jumlah pembiayaan yang difasilitasi oleh fintech juga harus dibatasi untuk mengendalikan pelaku jasa keuangan digital. Contohnya antara Rp 50 juta sampai maksimal Rp 100 juta.
"Tapi harus ada kajiannya (besaran pembiayaan) terlebih dulu," tutur Telisa.
Akan tetapi, Telisa juga menekankan perusahaan fintech harus terlebih dulu membenahi internal mereka dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola atau environmental, social, and governance (ESG).
Pasalnya, saat ini fintech mendapat banyak sorotan masyarakat terkait pinjaman daring (pindar).
Baca juga: Bandara Heathrow SIapkan 86 Juta Poundsterling untuk Transisi ke Avtur Berkelanjutan
Banyaknya kasus mengenai pindar membuat penilaian aspek sosialnya menjadi lemah. Padahal untuk pembiayaan berkelanjutan, ketiga aspek yakni lingkungan, sosial, dan tata kelola harus diperhatikan juga.
"Dengan adanya penerapan ESG di fintech, membuatnya lebih terkendali dan tidak merugikan masyarakat," kata Telisa.
Selain itu, Telisa menekankan tidak boleh sembarang fintech yang bergerak di bidang keuangan berkelanjutan.
Harusnya, ujar Telisa, ada perusahaan fintech yang khusus yang bergerak di jenis pembiayaan berkelanjutan.
Baca juga: Green Zakat, Baznas Ajak Umat Peduli Pembangunan Berkelanjutan
"Dia (perusahaan fintech) juga harus punya ahli dan expert di bidang hijau ini," tutur Telisa.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S Djafar menuturkan belum ada perusahaan fintech yang masuk ke segmen pembiayaan berkelanjutan.
Entjik berujar, perusahaan fintech masih fokus untuk masyarakat yang tidak memiliki rekening bank atau unbanked dan undeserved.
"Karena market pindar adalah untuk masyarakat unbanked dan underserved," ucap Entjik.
Baca juga: Green Zakat, Baznas Ajak Umat Peduli Pembangunan Berkelanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya