KOMPAS.com - Ditariknya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris oleh Donald Trump bakal berdampak besar terhadap upaya perlawanan perubahan iklim.
Perjanjian Paris merupakan pakta iklim yang diratifikasi hampir semua negara di dunia untuk mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
Penarikan "Negeri Paman Sam" dari Perjanjian Paris disahkan Trump melalui perintah eksekutif (semacam keputusan presiden atau keppres) usai dia dilantik menjadi Presiden AS.
Baca juga: Baru Dilantik Jadi Presiden, Trump Langsung Tarik AS Keluar Perjanjian Paris
Dengan demikian, Trump kembali menarik Washington dari Perjanjian Paris untuk kedua kalinya ketika dia menjabat sebagai Presiden AS.
Sebelum menjabat di masa kepresidenan kali ini, Trump sebelumnya telah menarik AS dari Perjanjian Paris pada 2017 di masa kepresidenannya yang pertama.
Ketika dia lengser dalam pemilihan presiden pada 2020 dan Joe Biden menjabat sebagai Presiden AS pada 2021, "Negeri Paman Sam" kembali masuk ke Perjanjian Paris.
Saat ini, AS merupakan penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua di dunia setelah China.
Kepergian AS dari Perjanjian Paris bakal merusak ambisi global untuk memangkas emisi GRK, paling tidak emisi yang dihasilkan dari negara tersebut.
Baca juga: Menang Pilpres, Trump Bersiap Tarik AS dari Perjanjian Paris
Baru-baru ini, 2024 dinobatkan Organisasi Meteorologi Dunia sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah dengan kenaikan suhu 1,5 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri.
Tanpa perubahan kebijakan saat ini, dunia juga sedang berada pada jalur kenaikan suhu hingga 3 derajat celsius pada akhir abad ini atau 2100 menurut laporan PBB.
Dilansir dari Reuters, Selasa (21/1/2025), sejumlah analisis dan diplomat meyakini penarikan AS dari Perjanjian Paris untuk kali kedua ini memiliki dampak yang lebih besar.
Dengan ditariknya AS dari Perjanjian Paris, Trump diperkirakan akan membatalkan rencana pemangkasan emisi GRK negara tersebut.
Selain itu, Trump juga diperkirakan akan membatalkan pajak kredit di era Biden untuk proyek-proyek pemangkasan karbon dioksida.
Baca juga: 9 Tahun Usai Perjanjian Paris, Transisi Energi Terganjal Kesenjangan Teknologi
Michael Gerrard, seorang profesor hukum di Columbia Law School mengatakan, ditariknya AS dari Perjanjian Paris akan semakin membahayakan tercapainya pembatasan suhu global.
Mantan negosiator iklim sekaligsus penasihat kebijakan senior untuk Perancis, Paul Watkinson, menuturkan penarikan AS dari Perjanjian Paris kali ini bisa berdampak lebih buruk terhadap upaya perlawanan iklim global.
"Itu jelas berdampak pada yang lain. Maksud saya, mengapa yang lain harus terus memperbaiki keadaan jika salah satu pemain kunci sekali lagi meninggalkan ruangan?" kata Watkinson.
Selain menarik AS dari Perjanjian Paris, Trump juga memerintahkan untuk segera menyetop semua pendanaan yang dijanjikan AS sebelumnya dalam perundingan iklim PBB.
Baca juga: Sejak Perjanjian Paris, Bank Masih Gelontorkan Rp 110 Kuadriliun ke Industri Energi Fosil
Penyetopan tersebut akan membebani negara-negara miskin setidaknya 11 miliar dollar AS.
Pasalnya, AS merupakan salah satu kontributor keuangan tertinggi dalam pendanaan iklim.
Itu belum termasuk pendanaan pemerintah yang ramah iklim yang diluncurkan Biden di dalam negeri, yang masa depannya menjadi tidak pasti di bawah pemerintahan Trump.
Total pengeluaran iklim AS - menghitung domestik dan internasional, dari sumber swasta dan publik - melonjak menjadi 175 miliar dollar AS per tahun selama 2021-2022.
Baca juga: Pemerintah Susun Target Iklim, IESR: Perlu Sejalan Perjanjian Paris
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya