KOMPAS.com - Sejak Perjanjian Paris, Bank-bank besar di dunia menggelontorkan dana 6,9 triliun dollar AS (Rp 110 kuadriliun) kepada industri bahan bakar fosil.
Pada 2016, setelah pembicaraan di Paris, 196 negara menandatangani perjanjian untuk membatasi pemanasan global akibat emisi karbon dengan batas ideal 1,5 derajat celsius untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim yang drastis.
Sejak saat itu, banyak negara telah berjanji untuk mengurangi emisi karbon, sebagaimana dilansir The Guardian, Senin (13/5/2024).
Baca juga: Puncak Produksi Listrik dari Energi Fosil Kemungkinan Telah Lewat
Akan tetapi, penelitian terbaru dari Banking on Climate Chaos (BOCC) menunjukkan, aliran uang dari perbankan ke perusahaan minyak, gas, dan batu bara masih terus berlanjut untuk ekspansi bahan bakar fosil.
Para peneliti dalam laporan tersebut menganalisis penjaminan dan pinjaman dari 60 bank terbesar di dunia kepada lebih dari 4.200 perusahaan dan perusahaan bahan bakar fosil yang menyebabkan degradasi di Amazon dan Arktik.
Mereka menemukan bahwa bank-bank tersebut memberikan pembiayaan sebesar 6,9 triliun dollar AS kepada perusahaan minyak, batu bara, dan gas.
Hampir setengahnya yaitu 3,3 triliun dollar AS digunakan untuk ekspansi bahan bakar fosil.
Baca juga: Subsidi Bahan Bakar Fosil di Asia Tenggara 5 Kali Lipat daripada Investasi Hijau
Bahkan pada 2023, dua tahun setelah banyak bank besar berjanji menurunkan emisi sebagai bagian dari Net Zero Banking Alliance, pendanaan bank untuk perusahaan bahan bakar fosil mencapai 705 miliar dollar AS.
Bank-bank dari Amerika Serikat (AS) menjadi penyalur dana terbesar ke industri bahan bakar fosil pada 2023, menyumbang 30 persen dari total 705 miliar dollar AS.
Direktur Eksekutif Indigenous Environmental Network Tom BK Goldtooth, yang ikut menulis penelitian ini, mengatakan pemodal dan investor bahan bakar fosil terus menyalakan api krisis iklim.
"Ditambah dengan kolonialisme selama beberapa generasi, investasi industri bahan bakar fosil dan lembaga perbankan dalam memberikan solusi yang salah menciptakan kondisi yang tidak dapat ditinggali bagi semua umat manusia yang masih hidup di Bumi," kata Goldtooth.
Baca juga: Minyak Sawit Bisa Jadi Energi Gantikan Bahan Bakar Fosil
Dia menambahkan, masyarakat adat menjadi kelompok yang paling rentan dan menjadi yang terdepan dalam menghadapi bencana iklim.
Goldtooth menyampaikan, industri bahan bakar fosil menargetkan tanah dan wilayah adat sebagai zona pengorbanan untuk melanjutkan ekstraksi mereka.
"Kapitalisme dan ekonomi berbasis ekstraksi hanya akan memperburuk dan menghancurkan Bumi. Ini harus segera diakhiri," sambung Goldtooth.
Laporan tersebut ditulis oleh para peneliti dari BankTrack, Center for Energy, Ecology and Development, Indigenous Environmental Network, Oil Change International, Sierra Club, dan Urgewald.
Selain itu, laporan tersebut juga telah didukung oleh hampir 600 organisasi di 69 negara.
Baca juga: Transisi Energi Hadapi Tantangan, Pemerintah Dinilai Ragu Tinggalkan Bahan Bakar Fosil
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya