KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) resmi menarik Washington keluar dari Perjanjian Paris sesaat setelah dia dilantik, Senin (20/1/2025).
Perjanjian Paris merupakan pakta iklim yang diratifikasi hampir semua negara di dunia untuk mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
Penarikan "Negeri Paman Sam" dari Perjanjian Paris disahkan Trump melalui perintah eksekutif (semacam keputusan presiden atau keppres) usai dia dilantik menjadi Presiden AS.
Baca juga: Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Perlawanan Perubahan Iklim Hadapi Pukulan Besar
Keluarnya AS dari Perjanjian Paris untuk kedua kalinya tersebut dinilai banyak pihak dapat mengacaukan perlawanan perubahan iklim.
Kendati demikian, ada sejumlah pihak yang menilai keluarnya AS dari Perjanjian Paris akan membuat negara lain kena dampak positifnya.
Li Shuo, pakar diplomasi iklim dari Asia Society Policy Institute, menyampaikan penarikan diri AS berisiko melemahkan kemampuan Washington untuk bersaing dengan China dalam pasar energi bersih seperti tenaga surya dan kendaraan listrik.
"China berpeluang menang, dan AS berisiko semakin tertinggal," ujar Li.
Sementara itu, koalisi bisnis yang mendorong netral karbon, We Mean Business Coalition, memprediksi berbagai disrupsi dari Trump terhadap lingkungan dapat mendorong investasi hijau lari ke tempat lain.
Baca juga: Studi: Beralih ke Pola Makan Nabati Bisa Bantu Atasi Perubahan Iklim
Kelompok yang di-backing oleh Meta dan Amazon tersenit menyampaikan, pintu bagi negara berekonomi besar lainnya terbuka lebar untuk menarik investasi dan bakat yang lebih besar, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (21/1/2025).
Tiga investor mengatakan kepada Reuters, transisi ke energi hijau, termasuk di AS, akan terus berlanjut.
Salah satu dampak dari keluarnya AS dari Perjanjian Paris adalah mencegah bisnis-bisnis di AS menjual kredit karbon ke pasar karbon yang didukung PBB.
Padahal, nilainya bisa lebih dari 10 miliar dollar AS pada 2030, menurut penyedia informasi keuangan MSCI.
Meskipun tidak lagi dapat menghasilkan uang dari penjualan kredit surplus, perusahaan AS akan dapat membelinya secara sukarela.
Baca juga: Menang Pilpres, Trump Bersiap Tarik AS dari Perjanjian Paris
Maskapai penerbangan AS, misalnya, masih dapat membelinya untuk memenuhi target iklim penerbangan PBB, kata Owen Hewlett dari lembaga standar pasar karbon Gold Standard.
Keluarnya AS dari Perjanjian Paris juga menjadi masalah bagi perbankan dan pengelola uang di "Negeri Paman Sam".
Pasalnya, lembaga keuangan tersebut terjebak antara kemunduran iklim AS dan tekanan dari Eropa untuk mencapai tujuan iklim lebih cepat di "Benua Biru".
Pendiri Carbon Tracker Initiative Mark Campanale mengatakan, manajer aset yang berbasis di AS dengan klien Eropa harus bermain dua kaki.
Baca juga: Nitrogen Dioksida Terus Naik, Target Perjanjian Paris Bisa Meleset
"Apakah mereka akan mengambil risiko kehilangan klien Eropa untuk membuat politisi AS senang? Saya meragukannya," tutur Campanale.
Di sisi lain, bank-bank AS telah meninggalkan koalisi iklim sektor perbankan menyusul kritik dari Partai Republik.
Namun, keluarnya mereka dari koalisi tidak membebaskan mereka dan perusahaan multinasional lainnya dari keharusan mematuhi aturan Eropa yang ketat untuk pelaporan keberlanjutan.
Mengingat berbagai kebijakan iklim global, perusahaan cenderung akan terus berupaya mengatasi iklim, dan mengadopsi taktik greenhushing alias tidak mempublikasikannya.
"Itu berarti, lakukan, tetapi jangan publikasikan," ujar Campanale.
Baca juga: Apa Itu Perjanjian Paris dan Alasan Trump Tarik AS Keluar?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya