Namun, para bupati dengan SDA hutan sering salah tafsir, termasuk dalam perizinan perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
Bupati hanya mempunyai kewenangan izin prinsip untuk pelepasan kawasan hutan menjadi kebun sawit, sementara izin pelepasan kawasan hutan masih berada di tangan menteri kehutanan (Menhut).
Oleh karena itu, selama izin pelepasan kawasan hutan belum terbit dari Menhut, maka izin prinsip dari bupati tidak dapat digunakan untuk memulai operasi kegiatan kebun sawit dalam kawasan hutan.
Baca juga: Pagar Laut Tangerang: Konflik Kuasa, Modal, dan Keberlanjutan Ekosistem
Faktanya, pemerintah daerah kebablasan mengambil kebijakan dan salah tafsir; banyak perusahaan/korporasi hanya berbekal izin prinsip dari bupati diizinkan untuk memulai kegiatan pembukaan perkebunan sawit tanpa menunggu izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut terbit.
Meskipun izin prinsip dan izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut telah terbit, perusahaan/korporasi kebun sawit tidak dapat melaksanakan kegiatan penanamannya (beroperasi) secara penuh dalam kawasan hutan yang telah diperoleh izinnya sepanjang belum mengantongi izin HGU dari Kementerian ATR/BPN.
Saat ini terdapat kegiatan kebun sawit ilegal yang sudah terlanjur masuk dalam kawasan hutan dengan luas mencapai 3,1–3,4 juta hektare dari luas kebun sawit di Indonesia yang tercatat 16,4 juta hektare.
Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 ha, hutan lindung 174.910 ha, hutan produksi terbatas 454.849 ha, hutan produksi biasa 1.484.075 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 ha.
Dari 3,1 juta ha, jika kita pakai data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK/Kemhut), sebanyak 1,4 – 1,9 juta hektare diklaim sebagai milik perusahaan atau korporasi.
Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta ha, tak memohon izin pelepasan agar legal. Ada dugaan karena sawit ini sebagian perkebunan sawit dikuasai rakyat/perorangan.
Kita tahu mengapa ada kebun sawit di kawasan hutan. Selain lemahnya pengawasan, juga tidak sikronnya tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten dengan tata guna lahan di Kemhut.
Ada 3 (tiga) jenis modus adanya sawit ilegal dalam kawasan hutan. Pertama, sawit ilegal yang mengatasnamakan kebun rakyat yang jumlahnya mencapai 1,2 – 1,7 juta hektare yang tersebar di Riau, Jambi, Sumsel, Kalteng, Kalbar.
Banyak petani kebun sawit yang mengklaim memiliki keabsahan pemilikan lahan/tanah kebun sawit.
Baca juga: Mungkinkah Lahan Kebun Sawit Diperluas?
Surat kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti SKT (surat keterangan tanah), SKGR (surat keterangan ganti rugi), surat HGU (hak guna usaha) dan tipe surat kepemilikan tanah lainnya, bukan jaminan sebagai kepemilikan/penguasaan tanah secara sah dan legal.
Bisa jadi surat kepemilikan/penguasaan tanah tersebut dikeluarkan oleh oknum-oknum pejabat di daerah (kepala desa, camat, pejabat BPN setempat) yang tidak bertanggungjawab guna mendapat keuntungan secara pribadi, apalagi surat-surat kepemilikan/penguasaan tanah di dalam kawasan hutan dilakukan setelah adanya peta tata guna hutan kesepakatan (TGHK) tingkat provinsi tahun 1982.
Dalih yang menyebut bahwa status kawasan hutan belum sampai pada penetapan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengklaim itu bukan kawasan hutan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya