Dalam UU no. 41/1999 tentang kehutanan, dengan sangat jelas disebutkan dalam pasal 1 mengatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Sedangkan penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.
Penunjukkan kawasan hutan, telah dilakukan oleh pemerintah secara nasional sejak tahun 1982 dan dituangkan dalam peta TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) yang telah mengatur tentang kawasan hutan berdasarkan fungsinya setiap provinsi/kabupaten/kota.
Fungsi kawasan hutan yang dimaksud adalah hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi).
Kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan secara tidak sah (ilegal) pada umumnya terjadi pada saat euforia reformasi tahun 1998 keatas.
Masyarakat dengan secara bebas masuk dan berkebun di dalam hutan tanpa pengawasan dan penjagaan secara ketat khususnya oleh pemerintah pusat maupun daerah seiring dengan bergulirnya otonomi daerah yang sangat kuat pada saat itu.
Kedua, sawit ilegal yang diklaim perusahaan/korporasi yang berbekal izin prinsip dari bupati. Kasus mantan bupati Indragiri Hulu (Inhu) provinsi Riau periode 1999-2008, Raja Thamsir Rahman (RTR) menjadi contoh nyata.
Hanya berbekal izin prinsip yang diterbitkannya, RTR berani menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan hutan di Indragiri Hulu seluas 37.095 hektare.
Baca juga: Realisasi Pajak Karbon Nyaris Tak Terdengar
Padahal izin usaha pekebunan di kawasan hutan harus dilengkapi dengan izin pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan Menteri Kehutanan dan Izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan Menteri Agraria/Tata Ruang.
Tanpa pelepasan kawasan dan HGU, mustahil izin usaha perkebunan di kawasan hutan dapat dilakukan.
Faktanya, PT Duta Palma Group milik Surya Darmadi dapat mengusahakan kebun sawit secara tidak sah sampai dengan kasus ini terungkap pada Juli 2022 oleh Kejaksaan Agung. Kerugian negara akibat aktivitas kebun sawit ilegal tersebut mencapai Rp 78 trilliun.
Ketiga, sawit ilegal yang diklaim perusahaan/korporasi yang berbekal izin prinsip dari bupati belum mempunyai izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut, tetapi mempunyai izin HGU dari Kementerin ATR/BPN.
Dalam aturan, HGU terbit setelah ada izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Pertanyaannya, bisakah hak guna usaha (HGU) sawit terbit tanpa pelepasan kawasan hutan?
Jika kita simak kembali diskusi dan tanya jawab dalam rapat Komisi Kehutanan DPR dengan Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri Kelautan dan Perikanan pada 29 Maret 2021, jawabannya bisa. Menurut aturan seharusnya tidak bisa.
Penjelasan Darori Wonodipuro, politisi Partai Gerindra mengungkap kenyataan di lapangan. Sebelum menjadi anggota DPR, Darori adalah Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial pada 2007-2020, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2010-2013).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya