KOMPAS.com - Restorasi lahan gambut melalui pembasahan kembali dapat menurunkan emisi karbon dioksida secara signifikan, sehingga berdampak positif untuk mitigasi perubahan iklim.
Senior Manager Karbon Hutan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Nisa Novita menuturkan, metode pembasahan tersebut dilakukan melalui pembangunan sekat kanal di perkebunan sawit pada lahan gambut.
Selain menurunkan emisi karbon dioksia, metode tersebut juga tidak memiliki efek emisi metana, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (11/9/2024).
Baca juga: Pertanian Paludikultur Bisa Restorasi Gambut, Ini Kelebihannya
Nisa melanjutkan, riset tersebut dilakukan YKAN bersama dengan Universitas Tanjungpura, IPB University, Badan Nasional Riset dan Inovasi (BRIN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Stanford University, United Nation University, Oregon State University, dan The Nature Conservancy.
Hasil riset tersebut dipublikasikan dalam jurnal Science of The Total Environment berjudul Strong climate mitigation potential of rewetting oil palm plantations on tropical peatlands yang terbit pada 26 Agustus 2024.
Penelitian tersebut berangkat dari kondisi lahan gambut tropis di Indonesia yang mengalami deforestasi dan dikonversi menjadi penggunaan lahan lainnya, terutama perkebunan kelapa sawit.
Padahal, lahan gambut dikenal sebagai ekosistem penyimpan karbon di dalam tanah terbesar ketimbang hutan tropis di lahan mineral ataupun mangrove.
Baca juga: Ekosistem Gambut dan Mangrove Indonesia dalam Konstelasi Pemanasan Global
"Lahan gambut yang dikeringkan dan terdegradasi diperkirakan berkontribusi hingga 5 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca (GRK) global yang disebabkan oleh aktivitas manusia," ucap Nisa.
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Pusat pada Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN Wahyu Catur Adinugroho sebagai salah seorang peneliti yang terlibat menyampaikan, selama ini sudah dilakukan sejumlah riset tentang dampak pembasahan kembali lahan gambut yang terdegradasi.
"Kami melakukan penelitian ini untuk menghitung secara akurat penurunan emisi dari kegiatan pembasahan kembali lahan gambut yang terdegradasi," papar Wahyu.
Baca juga: KLHK dan APP Group Dorong Pemanfaatan Hutan dan Lahan Gambut Berkelanjutan
Para peneliti ini melakukan riset tersebut di tiga area berbeda, yaitu perkebunan kelapa sawit yang telah dikeringkan, pada perkebunan kelapa sawit yang telah dibasahi kembali, serta di hutan yang tumbuh kembali setelah mengalami kerusakan atau hutan sekunder.
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Mempawah dan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Peneliti mengukur aliran GRK dalam bentuk karbon dioksida dan gas metana menggunakan metode dynamic closed chamber, termasuk mengukur suhu tanah, tinggi muka air tanah, dan parameter iklim.
"Penelitian kami menemukan upaya rewetting (pembasahan) melalui pembangunan sekat kanal dapat mengurangi laju dekomposisi gambut sebesar 34 persen dibandingkan dengan gambut yang tidak dibasahi," ujar Wahyu.
Baca juga: Korporasi Wajib Rawat Lahan Gambut di Area Konsesinya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya