Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mochammad Fahlevi
Dosen dan Peneliti

Dr. Mochammad Fahlevi adalah asisten profesor di Universitas Bina Nusantara dan pendiri Privietlab Research Center. Ia telah diakui sebagai salah satu dari 2 persen peneliti terbaik dunia dalam bidang manajemen bisnis oleh Stanford University dan Elsevier.

Transformasi ESG di Tengah Guncangan Geopolitik Global

Kompas.com - 03/02/2025, 20:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Peran Amerika dan China dalam perubahan ESG

Amerika Serikat menjadi medan pertempuran utama untuk ESG. Partai Republik dan media konservatif terus menyerang ESG sebagai bentuk "woke capitalism" (New York Times, 2024).

Ini membuat perusahaan-perusahaan besar di AS harus berhati-hati dalam komunikasi mereka. Beberapa bank investasi, bahkan menghadapi tuntutan hukum karena dianggap melakukan kartel anti-batu bara dengan dalih ESG.

Di sisi lain, China justru semakin agresif dalam strategi hijau mereka. China menjadi pemain dominan dalam produksi baterai lithium, kendaraan listrik, dan investasi energi terbarukan di negara berkembang, termasuk Indonesia.

China melihat ESG bukan sebagai isu moral, tapi sebagai alat geopolitik dan ekonomi untuk memperkuat pengaruh globalnya.

Indonesia berada di posisi yang menarik dalam pergeseran ESG ini. Di satu sisi, Indonesia punya peluang besar menarik investasi hijau, terutama dari China.

Proyek-proyek seperti hilirisasi nikel dan pengembangan baterai kendaraan listrik sedang digarap dengan dukungan modal besar dari Beijing (Global Times, 2024).

China telah berinvestasi miliaran dollar dalam infrastruktur ini, menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi utama untuk rantai pasokan kendaraan listrik global (Reuters, 2024).

Selain itu, proyek-proyek ini juga didorong oleh insentif pajak dan kemudahan regulasi yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia (Jakarta Post, 2024).

Namun, ada ancaman dari kebijakan Amerika Serikat yang semakin proteksionis. Jika AS benar-benar memberlakukan tarif tinggi untuk produk-produk dari BRICS (termasuk China), Indonesia bisa terkena dampaknya.

Presiden Trump telah mengancam tarif 100 persen terhadap negara-negara BRICS jika mereka berusaha melakukan dedolarisasi dan mengurangi ketergantungan pada dollar AS dalam perdagangan global (Reuters, 2024).

Langkah ini dapat mengganggu arus ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS serta meningkatkan tekanan pada nilai tukar rupiah.

Selain itu, produk China yang tidak bisa masuk ke AS mungkin akan membanjiri Asia Tenggara, meningkatkan persaingan dengan industri lokal dan memperumit strategi ekonomi Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara AS dan China.

Dalam dunia bisnis, ESG sejatinya bisa dikaitkan dengan teori Stakeholder Capitalism, yang menekankan bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham, tetapi juga kepada karyawan, masyarakat, dan lingkungan.

Namun, kritik terhadap ESG justru memperlihatkan bahwa sebagian besar perusahaan masih beroperasi dalam paradigma Shareholder Primacy, di mana laba tetap menjadi tujuan utama.

Maslansky berpendapat bahwa jika ESG ingin bertahan, maka pendekatannya harus berubah menjadi lebih pragmatis dan berbasis data, bukan sekadar retorika moralitas.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau