ESG harus kembali ke akarnya sebagai alat untuk mengidentifikasi risiko jangka panjang dan peluang bisnis, bukan sekadar "trend" atau "branding tool".
Apa alasan ESG mengalami transformasi besar? Saat ini terjadi pergeseran dalam cara ESG diterapkan dan dikomunikasikan.
ESG yang penuh jargon dan retorika moral memang mengalami kemunduran, tetapi prinsip tanggung jawab bisnis dan keberlanjutan tetap menjadi faktor penting dalam strategi perusahaan.
Perusahaan yang ingin bertahan harus lebih cerdas dalam menyusun strategi mereka—mengutamakan keuntungan bisnis, efisiensi operasional, dan manajemen risiko, tanpa terjebak dalam sekadar pencitraan.
Indonesia dapat memanfaatkan momentum untuk menyesuaikan strategi secara konkret. Dengan meningkatnya tekanan global terhadap ESG, Indonesia harus memperkuat kebijakan energi hijau dan regulasi keberlanjutan agar tetap kompetitif dalam menarik investasi hijau.
Hilirisasi sumber daya alam seperti nikel dan pengembangan industri baterai listrik dapat menjadi keunggulan utama jika didukung oleh insentif pajak dan kebijakan yang mendukung transisi energi.
Selain itu, diplomasi ekonomi yang cermat diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian global, terutama dalam mengamankan pasar ekspor di tengah ancaman proteksionisme dan tarif perdagangan tinggi yang diterapkan AS terhadap negara-negara BRICS.
ESG saat ini mengalami evolusi dari cara kita memandang bisnis di era yang penuh tantangan ini. Yang berubah bukan prinsip dasarnya, tapi strategi penerapannya dalam kebijakan ekonomi nasional.
Di Indonesia, kebijakan terbaru dari pemerintahan Prabowo menunjukkan pendekatan pragmatis terhadap ESG, tetapi masih menyisakan tantangan besar.
Fokus pada industrialisasi hijau dan hilirisasi nikel sering kali lebih menguntungkan investor besar dibandingkan dengan masyarakat lokal yang terdampak eksploitasi sumber daya alam.
Transisi energi yang dijanjikan belum sepenuhnya menyentuh aspek keberlanjutan sosial, seperti perlindungan hak tenaga kerja di sektor pertambangan dan pengelolaan dampak lingkungan.
Sementara itu, insentif fiskal yang diberikan lebih banyak mengarah pada kepentingan industri besar, bukan pada penguatan ekonomi berbasis komunitas yang lebih berkelanjutan.
Dalam menghadapi dinamika perdagangan internasional, kebijakan ini masih perlu penyesuaian agar benar-benar dapat menjawab tantangan keberlanjutan tanpa hanya menjadi strategi ekonomi jangka pendek.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya