KOMPAS.com - Meski progresif dalam melakukan transisi energi dan berjanji menghapus subsidi bahan bakar fosil pada 2025, negara-negara G7 masih terus menyubsidi minyak, gas, dan batu bara.
Hal tersebut disorot dalam laporan terbaru Greenpeace berjudul Empty promises: where the G7 stand on subsidy reduction yang terbit baru-baru ini.
G7 beranggutakan negara-negara maju dengan perekonomian kuat seperti Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Pemerintah Baru Gunakan EBT 15 GW untuk Listrik, Sisanya Didominasi Energi Fosil
Pada 2016, negara-negara tersebut berjanji menghapus subsidi bahan bakar fosil pada 2025. Janji tersebut seharusnya ditepati tahun ini.
Akan tetapi, menurut laporan Greenpeace, alih-alih mengurangi subsidi, negara G7 memberikan subsidi lebih banyak ke bahan bakar fosil pada 2023 dibandingkan yang mereka bayarkan pada 2016.
Secara total, subsidi yang dibayar negara-negara G7 meningkat sebesar 15 persen pada 2023 dibandingkan tahun 2016.
Senior Portofolio Manager Climate and Energy Greenpeace International Virag Kaufer menyampaikan, negara-negara G7 memberi waktu hampir 10 tahun bagi mereka sendiri untuk menghilangkan subsidi bahan bakar fosil.
Baca juga: 5 Strategi Lawan Perubahan Iklim Versi Sekjen PBB, Pensiunkan Energi Fosil sampai Pembiayaan
"Sekarang tahun 2025, tahun ini dimulai dengan bencana iklim yang dahsyat. Dan mereka tidak hanya gagal mencapai target itu, mereka telah meningkatkan pengeluaran publik untuk bahan bakar yang merusak iklim," kata Kaufer, sebagaimana dilansir Euronews, Selasa (4/2/2025).
Untuk mengevaluasi subsidi yang dibayarkan, Greenpeace menugaskan Forum untuk Ekonomi Pasar Ekologis dan Sosial (FoS) untuk merumuskan laporan.
Penelitian tersebut menggunakan data dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Di antara negara-negara G7, Jerman menjadi negara dengan peningkatan subsidi energi fosil terbanyak dengan peningkatan 49 persen dalam tujuh tahun.
Baca juga: 5 Strategi Lawan Perubahan Iklim Versi Sekjen PBB, Pensiunkan Energi Fosil sampai Pembiayaan
Sophia van Vugt dari Greenpeace Jerman menyampaikan, fakta tersebut mengungkapkan bahwa pemerintah "Negeri Panser" menciptakan insentif palsu yang berbahaya bagi iklim.
"Ekonomi terbesar ketiga di dunia (Jerman) akan lebih baik jika meringankan beban rakyat dengan pajak iklim yang ditetapkan secara sosial daripada membiayai perilaku yang merusak iklim dengan subsidi energi lebih lanjut," tutur van Vugt.
Meski Jerman menjadi negara G7 yang meningkatkan subsidi energi fosil, AS tetap yang paling banyak mengeluarkan subsidi untuk bahan bakar fosil.
Menurut laporan tersebut, total subsidi yang dikucurkan AS untuk energi fosil mencapai 790 miliar dollar AS pada 2023.
Baca juga: Penangkap Karbon Dinilai Jadi Upaya Memperpanjang Industri Fosil
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya