Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 7 Februari 2025, 11:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Meski progresif dalam melakukan transisi energi dan berjanji menghapus subsidi bahan bakar fosil pada 2025, negara-negara G7 masih terus menyubsidi minyak, gas, dan batu bara.

Hal tersebut disorot dalam laporan terbaru Greenpeace berjudul Empty promises: where the G7 stand on subsidy reduction yang terbit baru-baru ini.

G7 beranggutakan negara-negara maju dengan perekonomian kuat seperti Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).

Baca juga: Pemerintah Baru Gunakan EBT 15 GW untuk Listrik, Sisanya Didominasi Energi Fosil

Pada 2016, negara-negara tersebut berjanji menghapus subsidi bahan bakar fosil pada 2025. Janji tersebut seharusnya ditepati tahun ini.

Akan tetapi, menurut laporan Greenpeace, alih-alih mengurangi subsidi, negara G7 memberikan subsidi lebih banyak ke bahan bakar fosil pada 2023 dibandingkan yang mereka bayarkan pada 2016.

Secara total, subsidi yang dibayar negara-negara G7 meningkat sebesar 15 persen pada 2023 dibandingkan tahun 2016.

Senior Portofolio Manager Climate and Energy Greenpeace International Virag Kaufer menyampaikan, negara-negara G7 memberi waktu hampir 10 tahun bagi mereka sendiri untuk menghilangkan subsidi bahan bakar fosil.

Baca juga: 5 Strategi Lawan Perubahan Iklim Versi Sekjen PBB, Pensiunkan Energi Fosil sampai Pembiayaan

"Sekarang tahun 2025, tahun ini dimulai dengan bencana iklim yang dahsyat. Dan mereka tidak hanya gagal mencapai target itu, mereka telah meningkatkan pengeluaran publik untuk bahan bakar yang merusak iklim," kata Kaufer, sebagaimana dilansir Euronews, Selasa (4/2/2025).

Untuk mengevaluasi subsidi yang dibayarkan, Greenpeace menugaskan Forum untuk Ekonomi Pasar Ekologis dan Sosial (FoS) untuk merumuskan laporan.

Penelitian tersebut menggunakan data dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Di antara negara-negara G7, Jerman menjadi negara dengan peningkatan subsidi energi fosil terbanyak dengan peningkatan 49 persen dalam tujuh tahun.

Baca juga: 5 Strategi Lawan Perubahan Iklim Versi Sekjen PBB, Pensiunkan Energi Fosil sampai Pembiayaan

Sophia van Vugt dari Greenpeace Jerman menyampaikan, fakta tersebut mengungkapkan bahwa pemerintah "Negeri Panser" menciptakan insentif palsu yang berbahaya bagi iklim.

"Ekonomi terbesar ketiga di dunia (Jerman) akan lebih baik jika meringankan beban rakyat dengan pajak iklim yang ditetapkan secara sosial daripada membiayai perilaku yang merusak iklim dengan subsidi energi lebih lanjut," tutur van Vugt.

Meski Jerman menjadi negara G7 yang meningkatkan subsidi energi fosil, AS tetap yang paling banyak mengeluarkan subsidi untuk bahan bakar fosil.

Menurut laporan tersebut, total subsidi yang dikucurkan AS untuk energi fosil mencapai 790 miliar dollar AS pada 2023.

Baca juga: Penangkap Karbon Dinilai Jadi Upaya Memperpanjang Industri Fosil 

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir di Sumatera Disebut Mirip Konflik Agraria, Akar Masalah Diabaikan
Banjir di Sumatera Disebut Mirip Konflik Agraria, Akar Masalah Diabaikan
Pemerintah
Lakukan Pengijauan, Nestlé Tanam 1.000 Pohon di Jawa Tengah
Lakukan Pengijauan, Nestlé Tanam 1.000 Pohon di Jawa Tengah
Swasta
Deforestasi Dinilai Perparah Banjir di Aceh, Risiko Sudah Dipetakan Sejak Lama
Deforestasi Dinilai Perparah Banjir di Aceh, Risiko Sudah Dipetakan Sejak Lama
LSM/Figur
Siswa SMA Sulap Limbah Cangkang Kepiting dan Udang Jadi Kemasan Ramah Lingkungan
Siswa SMA Sulap Limbah Cangkang Kepiting dan Udang Jadi Kemasan Ramah Lingkungan
LSM/Figur
Polusi Udara dari Kendaraan Diprediksi Picu 1,8 Juta Kematian Dini Pada 2060
Polusi Udara dari Kendaraan Diprediksi Picu 1,8 Juta Kematian Dini Pada 2060
LSM/Figur
KLH Angkut 116 Ton Sampah di Pasar Cimanggis Tangsel Imbas TPA Cipeucang Ditutup
KLH Angkut 116 Ton Sampah di Pasar Cimanggis Tangsel Imbas TPA Cipeucang Ditutup
Pemerintah
Investor Relations Jadi Profesi Masa Depan, Indonesia Perlu Siapkan SDM Kompeten
Investor Relations Jadi Profesi Masa Depan, Indonesia Perlu Siapkan SDM Kompeten
BUMN
Lindungi Pemain Tenis dari Panas Ekstrem, ATP Rilis Aturan Baru
Lindungi Pemain Tenis dari Panas Ekstrem, ATP Rilis Aturan Baru
LSM/Figur
IEA: 60 Persen Perusahaan Global Kekurangan 'Tenaga Kerja Hijau'
IEA: 60 Persen Perusahaan Global Kekurangan "Tenaga Kerja Hijau"
Pemerintah
Pertamina Andalkan Strategi Migas Tetap Jalan, Geothermal Jadi Masa Depan
Pertamina Andalkan Strategi Migas Tetap Jalan, Geothermal Jadi Masa Depan
BUMN
ASRI Awards, Penghargaan bagi Siswa hingga Sekolah lewat Inovasi Keberlanjutan
ASRI Awards, Penghargaan bagi Siswa hingga Sekolah lewat Inovasi Keberlanjutan
Swasta
Pelindo Terminal Petikemas Terapkan Teknologi Terumbu Buatan di Karimunjawa
Pelindo Terminal Petikemas Terapkan Teknologi Terumbu Buatan di Karimunjawa
BUMN
Teknologi Satelit Ungkap Sumber Emisi Metana dari Minyak, Gas, dan Batu Bara Global
Teknologi Satelit Ungkap Sumber Emisi Metana dari Minyak, Gas, dan Batu Bara Global
LSM/Figur
Sinarmas Land dan Waste4Change Resmikan Rumah Pemulihan Material di Tangerang
Sinarmas Land dan Waste4Change Resmikan Rumah Pemulihan Material di Tangerang
Swasta
Transisi EV Bisa Cegah 700.000 Kematian Dini, tapi Tren Pemakaian Masih Rendah
Transisi EV Bisa Cegah 700.000 Kematian Dini, tapi Tren Pemakaian Masih Rendah
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau