Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/02/2025, 09:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Kondisi persampahan di Provinsi Bali makin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah di Bali pada 2024 mencapai 1,2 juta ton.

Dari angka tersebut, Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar yakni sekitar 360.000 ton. Sampah organik dari sisa makanan dan ranting kayu mendominasi, mencapai 68,32 persen. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, antara 2000 sampai 2024, timbulan sampah di Bali naik 30 persen. 

Baca juga: Jakarta Utara Disiapkan Jadi Contoh Pengelolaan Sampah di Indonesia

Penyebab meningkatnya timbulan sampah tersebut di antaranya adalah kurangnya kesadaran pengelolaan sampah di sebagian besar masyarakat, termasuk kenaikan wisatawan ke Bali. 

Pemerintah kabupaten dan kota sebenarnya memiliki aturan terkait sampah. Namun, penegakan aturan masih belum berjalan maksimal.

Di sisi lain, keterbatasan infrastruktur pengelolaan sampah, gaya hidup konsumtif, dan tingginya penggunaan kemasan plastik sekali pakai turut menjadi penyumbang meningkatnya volume sampah.

"Kenaikan timbulan sampah, tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan dan ketersediaan infrastruktur persampahan di Bali, menyebabkan fasilitas ini tidak mampu lagi menampung volume sampah yang terus meningkat," kata Fabby dalam sebuah diskusi di Bali, Senin (10/2/2025), dikutip dari siaran pers.

Baca juga: MIND ID Grup Ubah Sampah Plastik Jadi Media Tanam di Fasilitas Nursery

Fabby menuturkan penyelesaian masalah sampah memerlukan pendekatan holistik dan terpadu dengan menekankan pada ekonomi sirkuler.

Selain itu, perlu penegakan hukum serta pembangunan infrastruktur persampahan, khususnya tempat pemrosesan akhir (TPA).

Di samping itu, pengelolaan sampah perlu menerapkan pemberian insentif serta disinsentif ekonomi yang mencerminkan biaya pengolahan sampah.

Yang tak kalah penting, memobilisasi partisipasi masyarakat untuk mengurangi sampah dan mengolah sampah organik di sumber atau di tingkat komunitas. 

Baca juga: Kebijakan dan Tujuan Lingkungan Ihwal Sampah Plastik Belum Selaras

Fabby menjelaskan, meskipun ada opsi pengolahan sampah menjadi energi, investasinya sangat mahal dan dapat membebani keuangan pemerintah daerah. 

Oleh karena itu, mengurangi sampah dari sumbernya dan mengolahnya menjadi solusi yang paling ekonomis.

"Tidak ada satu solusi tunggal yang bisa menyelesaikan masalah sampah di Bali. Dibutuhkan pendekatan yang terpadu dan menyeluruh, melibatkan semua pihak dari masyarakat, pemerintah, hingga industri," ucap Fabby.

Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali I Made Dwi Arbani menyampaikan, provinsi ini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah.

Baca juga: KLH Siapkan Regulasi Wajibkan Pemilik Kawasan Kelola Sampah

Beberapa di antara tantangan tersebut yakni over kapasitas TPA, keterbatasan lahan, serta peningkatan volume sampah setiap tahunnya. 

Untuk mengatasinya, paradigma pengelolaan sampah di Bali mulai bergeser dari sistem linear berbasis TPA, menuju  ekonomi sirkular yang berkelanjutan. 

Dia bertutur, dalam Peta Jalan Kerthi Ekonomi Bali 2045, salah satu indikator pengelolaan sampah adalah 100 persen sampah terkelola.

"Hal ini mencakup pengurangan sampah melalui gaya hidup berkelanjutan, seperti belanja dengan membawa wadah sendiri dari rumah, penggunaan kembali produk daur ulang dan mengusahakan pengolahan sampah menjadi kompos," ujar Dwi Arbani.

Baca juga: Sampah Organik Keluarga Jadi Biogas: Upaya Ekonomi Sirkular dari Rumah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau