Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berharga tetapi Tak Dihargai, Lahan Gambut Jadi Bom Emisi Karbon

Kompas.com, 14 Februari 2025, 15:12 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Guardian

KOMPAS.com - Lahan gambut cuma 3 persen dari seluruh daratan di dunia. Kendati demikian, wilayah tersebut mampu menyimpan karbon lebih besar daripada hutan lain di dunia.

Sayangnya, wilayah kecil tersebut ternyata tidak cukup terlindungi. Banyak yang mengeringkan lahan gambut untruk pertanian, memicu pelepasan begitu banyak CO2.

Jika area gambut adalah sebuah negara, maka dia akan menjadi pencemar terbesar keempat di dunia setelah China, AS, dan India.

Mengutip Guardian, Jumat (14/2/2025), analisis global pertama menemukan hanya 17 persen lahan gambut yang berada di dalam kawasan lindung.

Hal itu sangat kontras dengan ekosistem berharga lainnya seperti hutan tropis yang 38 persen wilayahnya dilindungi dan hutan bakau (42 persen).

Perlindungan lebih rendah bahkan ditemukan di negara dengan lahan gambut terbanyak: Kanada, Rusia, dan Indonesia.

Pelestarian lahan gambut

Para ilmuwan mengatakan, melestarikan dan memulihkan lahan gambut sangat penting untuk mencapai target pencegahan kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius dalam Kesepakatan Paris.

Para ilmuwan juga menganggap bahwa pelestarian gambut merupakan cara yang hemat biaya untuk mengatasi krisis iklim.

Baca juga: Restorasi Lahan Mangrove dan Gambut Dinilai Jadi Solusi Iklim yang Minim “Budget”

"Lahan gambut adalah ekosistem bernilai sangat tinggi tetapi tingkat perlindungannya sangat rendah," kata Dr. Kemen Austin di Wildlife Conservation Society, yang memimpin penelitian.

“Nilai lahan gambut bagi manusia, baik secara lokal maupun global, sangat besar,” katanya.

Ia menambahkan, karbon di lahan gambut butuh ratusan hingga ribuan tahun untuk terakumulasi dan tidak dapat digantikan dalam skala waktu yang relevan dengan aksi perubahan iklim.

“Itulah mengapa lahan gambut terkadang disebut sebagai 'bom karbon', karena begitu bom itu dilepaskan, emisi tersebut akan terus berlanjut dan kita tidak akan mendapatkan karbon itu kembali,” terang Austin.

Lahan gambut merupakan lahan basah tempat materi tanaman mati terakumulasi dan dekomposisi berlangsung lambat karena materialnya tergenang air.

Lahan gambut tidak hanya menyimpan karbon, tetapi juga memerangkap air, membantu mencegah banjir dan kekeringan, dan menampung banyak lumut dan bunga, burung, ikan, dan kupu-kupu.

Namun, pengeringan, merusak lahan gambut untuk pertanian, pertambangan, atau jalan dan infrastruktur lainnya memaparkan karbon ke udara dan menyebabkan CO2 terlepas ke atmosfer.

Secara total, karbon yang tersimpan di lahan gambut setara dengan emisi global saat ini selama lebih dari setengah abad.

Studi dipublikasikan di jurnal Conservation Letters.

Baca juga: Gambut dan Mangrove Bisa Pangkas 770 Megaton Emisi CO2 di Asia Tenggara

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
IPB Latih Relawan dan Akademisi di Aceh Produksi Nasi Steril Siap Makan
IPB Latih Relawan dan Akademisi di Aceh Produksi Nasi Steril Siap Makan
Pemerintah
Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Sistem Transportasi dan Logistik Dinilai Perlu Berubah
Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Sistem Transportasi dan Logistik Dinilai Perlu Berubah
LSM/Figur
SMBC Indonesia Tanam 1.971 Pohon melalui Program BerDaya untuk Bumi di Garut
SMBC Indonesia Tanam 1.971 Pohon melalui Program BerDaya untuk Bumi di Garut
Swasta
Tempat Penyimpanan Karbon Dioksida Pertama di Dunia Bakal Beroperasi di Denmark
Tempat Penyimpanan Karbon Dioksida Pertama di Dunia Bakal Beroperasi di Denmark
Swasta
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
LSM/Figur
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
LSM/Figur
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
LSM/Figur
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Pemerintah
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
Pemerintah
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau