Kedua, secara kategori, seseorang dengan disabilitas bukan hanya karena kondisi fisik atau mental yang mereka miliki, tetapi juga karena struktur sosial yang membatasi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi penyandangnya, diskriminasi berbasis prasangka terhadap disabilitas, atau yang dikenal dengan ableisme, menjadi kenyataan yang terus-menerus dihadapi.
Prasangka ini, baik yang berakar pada budaya maupun sistem, membuat mereka dipandang sebagai kelompok “lain” yang asing dan rentan diskriminasi.
Pemenuhan hak-hak dasar, seperti pendidikan, sering kali terabaikan. Hampir 30 persen anak dengan disabilitas tidak memiliki akses ke pendidikan.
Bahkan bagi mereka yang berhasil mengaksesnya, fasilitas yang tersedia sering kali jauh dari memadai.
Isu ini menjadi semakin rumit bagi individu dengan disabilitas tak kasatmata. ADHD dan gangguan spektrum autisme, misalnya, secara langsung memengaruhi cara seseorang berinteraksi dan belajar, meski tidak terlihat secara fisik.
Karena sering diabaikan, mereka kerap tidak memiliki akses ke sumber daya yang memungkinkan partisipasi yang setara.
Akibatnya, kesulitan yang mereka hadapi justru dianggap sebagai tanggung jawab individu semata. Kondisi ini memperkuat akar ableisme dalam masyarakat, meliputi opini publik, perencanaan kota, hingga kurikulum pendidikan.
Hambatan sistemik semacam ini terus mereproduksi ketidakadilan dengan asumsi keliru bahwa penyandang disabilitas tidak memiliki kemandirian atau potensi kepemimpinan.
Dengan demikian, disabilitas bukanlah sesuatu yang melekat pada individu, melainkan akibat dari hambatan yang diciptakan oleh sistem.
Penyandang tuli, misalnya, dapat berkomunikasi dengan baik ketika perbedaan bahasa dijembatani, dan anak dengan kesulitan belajar mampu berprestasi jika diberikan metode pembelajaran yang tepat.
Perubahan harus dimulai dengan mengakui keberadaan hambatan tersebut dan mendengarkan suara kelompok disabilitas, seperti yang ditegaskan dalam pendekatan sosial disabilitas (social model of disability).
Inklusi disabilitas bukan soal mengubah individu, melainkan tentang perubahan yang harus terjadi pada masyarakat di seluruh sektor.
Institusi pendidikan tinggi didorong untuk membentuk unit layanan disabilitas sebagai langkah mengatasi hambatan yang dihadapi mahasiswa dengan disabilitas.
Wuri Handayani, dosen Universitas Gadjah Mada sekaligus penerima Alumni UK Social Action Grants dari British Council, menggagas buddy system—sebuah program pendampingan antara mahasiswa disabilitas dan rekan non-disabilitas.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya