Selain Desa Tani, ada juga program Desa Kopi Solok Sirukam di Sumatera Barat dan Desa Kopi Sinjai di Sulawesi Selatan. Dompet Dhuafa memberikan bantuan modal untuk pupuk, hingga pendampingan budidaya dan pengolahan kopi menjadi biji kopi (greenbeans), serta pendampingan pemasaran produk untuk meningkatkan pendapatan petani di sana.
Contoh lain adalah Badan Usaha Milik Masyarakat-Desa Berdaya (BUMMas-DesBer) yang diinisiasi oleh Rumah Zakat. Program ini bertujuan untuk memperkuat perekonomian masyarakat desa lewat pertanian berkelanjutan. Rumah Zakat mendampingi masyarakat untuk memanfaatkan potensi lahan yang tersedia dengan menanam sayur-mayur dan membuat pupuk organik secara mandiri.
Apa yang mereka lakukan adalah upaya memandirikan perekonomian masyarakat desa dan secara bersamaan memperkuat ketahanan pangan. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Dengan pendekatan berbasis komunitas dan modernisasi tata kelola, filantropi tidak sekadar memberikan bantuan langsung, tetapi juga berkontribusi mendorong transformasi sosial yang berkelanjutan.
Baca juga: Agroforestri Intensif Dinilai Jadi Solusi Ketahanan Pangan dan Krisis Iklim
Program-program semacam ini membantu membangun sistem pangan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan, sehingga filantropi dapat menjadi katalis dalam memperkuat ketahanan pangan di Indonesia.
Tantangan keberlanjutan program
Meski menjanjikan, lembaga-lembaga filantropi juga menghadapi tantangan keberlanjutan program, terutama terkait pendanaan program jangka panjang.
Di Indonesia, pemberi zakat (muz akki) atau donatur masih cenderung tergerak untuk memberikan bantuan langsung (relief), ketimbang mendukung inisiatif yang berorientasi jangka panjang.
Survei Nasional tentang Zakat yang pernah dilakukan oleh para peneliti dari Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta pada 2004-2005, menujukkan bahwa 93 persen pemberi zakat lebih memilih menyalurkan zakatnya secara langsung kepada penerima (mustahik) zakat daripada melalui lembaga filantropi. Setelah itu, belum ada lagi survei nasional yang memotret tradisi masyarakat berderma. Baznas, misalnya saja, lebih senang dengan survei dana yang terkumpul daripada mencari tahu alasan dibalik kenapa orang mau menunaikan ziswaf.
Meski bantuan langsung tetap dibutuhkan, pola ini perlu diubah agar filantropi bisa berperan lebih besar dalam berbagai masalah ketimpangan struktural melalui program berkelanjutan.
Selain dana dari masyarakat, filantropi korporasi atau dana Corporate Social Responsibility (CSR) juga seharusnya bisa menjadi solusi mengatasi keterbatasan pendanaan ini. Di Amerika Serikat, lagi-lagi, perusahaan kerap melakukan aksi derma—tak hanya dalam bentuk dukungan finansial, tapi juga dukungan sumber daya, atau layanan kepada masyarakat sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka.
Di Indonesia, beberapa perusahaan sudah mulai menerapkan praktik serupa. Sebagian ada yang memilih menyalurkan dana CSR lewat lembaga amal internal, ada pula yang mengembangkan program-program sosial sendiri yang dianggap sesuai dengan nilai perusahaan. Jika korporasi-korporasi ini menjalin kerja sama dengan lembaga filantropi, jangkauan manfaatnya tentu bisa semakin luas.
Tantangan lainnya adalah soal kerangka regulasi. Undang-undang yang mengatur soal filantropi di Indonesia sudah usang, masih merujuk pada Undang-Undang (UU) No. 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang. Aturan lawas ini sudah ketinggalan zaman dan belum mengakomodasi perkembangan terkini, seperti filantropi digital.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Sumbangan yang kini digodok parlemen pun belum jelas ujungnya, padahal regulasi yang lebih adaptif sangat dibutuhkan saat ini.
Lembaga filantropi telah membuktikan bahwa mereka bisa menjadi lebih dari sekadar penyedia bantuan; tapi juga katalis perubahan sosial yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dukungan negara, khususnya dalam hal keberpihakan regulasi, amat diperlukan untuk mendukung kerja-kerja mereka. Begitu pula kemitraan dengan sektor korporasi, dapat memperluas dampak program yang tidak hanya membantu masyarakat, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional.
Baca juga: Maluku Punya Lahan Sagu 36.462 Hektare, Bisa Dukung ketahanan Pangan
*Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya