JAKARTA, KOMPAS.com - Agroforestri intensif dinilai dapat menjadi solusi ketahanan pangan dan penanganan krisis iklim di Indonesia.
Peneliti Tropenbos Indonesia Hery Santoso menjelaskan, agroforestri intensif tidak sekadar rehabilitasi lahan dan pemenuhan kebutuhan saja. Melainkan, berorientasi pada usaha komersial berkelanjutan.
"Kalau kita sudah mengarah ke sana, maka beberapa hal yang selama ini menjadi kendala agroforestri bisa kita tutup. Mulai dari produktiviti, kelembagaan, jaringan pasar dan seterusnya," ujar Hery dalam acara Mengarusutamakan Agroforestri Intensif yang digelar Tropenbos Indonesia di Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2024).
Baca juga:
Agroforestri merupakan kebun campur yang mencakup tanaman kayu, tanaman pangan dan tanaman komersial antara lain kopi, karet, kakao, hingga rempah.
"Intensifikasi di sini lebih pada diarahkan ke pengetahuan di mana proses intensifikasi tidak hanya mengarah pada input, tetapi bagaimana pengetahuan tentang tanaman campur dan krisis iklim dipahami," papar Hery.
Hery menyebut, selama ini agroforerstri yang diketahui masih berada di tingkat dasar atau family farming agroforestry.
"Yang kami maksud agroforestri intensif memang satu langkah di depan, tidak berorientasi pada hal-hal yang sangat konvensional," tutur dia.
Riset yang dilakukan Kelompok Kerja Pengembangan Agroforestri (KKPA) menunjukkan bahwa intensifikasi agroforestri, berpeluang menyelesaikan persoalan-persoalan produktivitas dan keuntungan yang rendah bagi petani. Sebab, rata-rata keuntungannya di bawah 50 persen.
Hery mencontohkan, agroforestri intensif dapat dilakukan dengan menggabungkan tanaman-tanaman sawit atau kakao yang produktivitasnya tinggi.
"Saya kira krisis iklim ini tidak bisa dijawab dengan agroforestri konvensional, karena pertumbuhannya. Tetapi, dengan agroforestri intensif. Cuman memang upayanya tidak kaleng-kaleng," sebut dia.
Riset KKPA memperlihatkan, ada tiga kunci untuk memulai konsep agroforestri intensif, yaitu kebijakan, teknologi dan pengetahuan, serta kelembagaan.
KKPA berpendapat bahwa agroforestri kini masih diposisikan sebagai program sektoral. Kehutanan, misalnya, meskipun terkait erat dengan pertanian, perkebunan, perdagangan, dan perindustrian orientasinya sebatas rehabilitasi lahan.
Baca juga:
Pihaknya menyatakan, dukungan paket teknologi dan pengetahuan agroforestri masih sangat terbatas. Selain itu, kerap dianggap sebagai program sektor kehutanan. Sehingga tak banyak investasi pembangunan yang dilakukan.
"Tidak banyak riset-riset pengembangan varietas baru yang secara khusus diperuntukkan bagi pengembangan agroforestri," ungkap para peneliti.
Sejauh ini hampir semua praktik agroforestri ditopang dengan kelembagaan keluarga, yang mengakibatkan upaya untuk meningkatkan skala menjadi wirausaha atau bisnis terkendala.
Untuk mewujudkan agroforestri intensif, penguatan dan pengembangan unit produksi menjadi kebutuhan mendesak.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya