JAKARTA, KOMPAS.com – Ketika berbicara mengenai pencemaran plastik, sebagian besar orang mengira kemasan besar jenis polyethylene terephthalate (PET) seperti galon adalah penyumbang utama sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) dan badan sungai.
Namun, laporan dari Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC) yang menyoroti top 25 sampah plastik di enam kota, mengungkap bahwa bukan galon PET, melainkan kemasan saset dan gelas plastik air minum dalam kemasan (AMDK) yang mendominasi timbunan sampah plastik.
"Di badan sungai, TPA, hingga ke laut, yang paling banyak adalah serpihan plastik kemasan kecil, seperti saset dan gelas plastik," ujar Founder NZWMC Ahmad Safrudin dalam seminar Kompas.com Talks bertajuk "Mitos vs Fakta: Benarkah Semua Plastik Adalah Sampah" di Jakarta, Jumat (21/2/2025).
Baca juga: Tak Diawasi Puluhan Tahun, KKI Sebut 75 Persen Distribusi Galon Guna Ulang Tak Taat Aturan
Dalam laporan NZWMC itu, kemasan saset disebutkan menempati posisi tertinggi dengan total 152.783 sampah. Kemudian, urutan temuan terbanyak kedua disusul gelas plastik AMDK dengan total sampah mencapai 135.383 buah.
Artinya, tambah Ahmad, sampah plastik yang sulit didaur ulang, seperti saset dan gelas plastik memiliki nilai ekonomi rendah sehingga menjadi penyumbang terbesar pencemaran lingkungan.
Gelas plastik AMDK berukuran lebih kecil, sering tercampur cairan, dan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum didaur ulang karena biasanya ada tutup plastik yang menempel.
Seluruhnya harus dibersihkan sebelum didaur ulang dan tiap rantai proses membutuhkan biaya. Pada akhirnya, nilai ekonomi yang seharusnya didapat perlu dipotong karena prosesnya lebih rumit.
Menurut Ahmad, masalah harga dan rendahnya nilai daur ulang dari sampah saset serta gelas plastik AMDK, utamanya disebabkan oleh sistem pengelolaan sampah yang belum optimal.
"Indonesia masih sangat bergantung pada pemulung untuk memilah sampah. Namun, untuk plastik bernilai rendah, seperti saset dan gelas plastik AMDK, pemulung cenderung mengabaikannya karena sulit dikumpulkan dalam jumlah besar, serta memiliki harga jual rendah," tutur Ahmad.
Baca juga: Mikroplastik Mengintai dari AMDK, Gelas Plastik Paling Banyak
Sementara itu, regulasi mengenai extended producer responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas limbah kemasannya juga dinilai CEO Kita Bumi Hadiyan Fariz Azhar Hadiyan masih belum optimal.
"Jangan hanya mengandalkan pemulung dan bank sampah, produsen harus ikut dalam sistem pengelolaan sampah. Mereka jangan hanya melepas produknya ke pasar, lalu membiarkan masyarakat yang menanggung beban sampahnya," tegas Fariz.
Untuk mengatasi permasalahan ini, tambah Fariz, produsen perlu didorong untuk mengurangi produksi kemasan kecil dan menggantinya dengan opsi yang lebih mudah didaur ulang.
Baca juga: AMDK Gelas Plastik adalah Desain Produk Buruk, Lebih Baik Dilarang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya