KOMPAS.com - Meski dicap sebagai sumber energi terbarukan yang intemitten alias sangat tergantung dengan cuaca, energi surya dan angin sangat bisa dijadikan tulang punggung sistem energi nasional.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam peluncuran laporan lembaga tersebut yang diikuti secara daring, Kamis (27/2/2025).
Fabby menuturkan, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai hampir 3.700 gigawatt (GW). Sebagian besar dari potensi tersebut adalah energi surya.
Baca juga: Bahlil: Energi Surya dan Angin untuk Siang, Batu Bara saat Malam
Meski sangat besar, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah.
Menurut data Kementerian Energi dan sumber Daya Mineral (ESDM) kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) baru mencapai 568,3 megawatt (MW) alias 0,568 GW.
Sementara itu, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) bahkan lebih rendah lagi yakni 152,30 MW atau 0,152 GW.
"Kedua sumber energi ini melimpah, tapi sedikit sekali dimanfaatkan. Salah satunya karena keragu-raguan," kata Fabby.
Baca juga: China Bikin Pembangkit Listrik Tenaga Surya Lepas Pantai Terbesar di Dunia
Fabby menuturkan, keragu-raguan tersebut disebabkan karena anggapan bahwa energi surya dan angin bersifat intermittent.
Padahal menurut Fabby, jika keragu-raguan tersebut dihapuskan, kedua sumber energi tersebut bisa menjadi kekuatan utama dalam mendukung ketahanan energi.
Dengan kehadiran teknologi yang terus berkembang, sifat intermittent dari kedua pembangkit itu bisa diatasi.
Dia mencontohkan Jerman, Denmark, Australia, dan China yang berhasil membuktikan bahwa sifat intermittent dari energi surya dan angin bisa diatasi hingga membuat proyek-proyek skala besar.
Baca juga: China Bangun Tembok Raksasa Tenaga Surya, Bisa Pasok Listrik Seluruh Kota
Di samping itu, teknologi baterai juga semakin murah dan canggih, sehingga bisa mendukung pengembangan PLTS dan PLTB secara lebih luas.
Di sisi lain, efisiensi PLTS juga semakin meningkat. Bahkan sudah sangat lebih efisien bila dibandingkan beberapa tahun belakang. Harga PLTS juga semakin murah dari tahun ke tahun.
Bahkan, listrik dari pembangkitan PLTS ditambah baterai lebih murah dibandingkan energi fosil yang disubsidi.
Fabby menuturkan, tanpa kebijakan domestik market obligation (DMO) batu bara, harga listrik dari PLTS dan baterai bisa lebih murah.
"Dengan investasi dan regulasi yang tepat, Indonesia bisa mengikuti tren global tersebut, mengamankan energi bersih, murah, dan andal," kata Fabby.
Baca juga: Jadi Yang Pertama di Dunia, Swiss Pasang Panel Surya di Rel Kereta Api
Dalam laporan berjudul Unlocking Indonesia’s Renewables Future: The Economic Case of 333 GW of Solar, Wind, and Hydro Projects dari IESR, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 333 GW dari 632 lokasi proyek energi terbarukan skala utilitas yang layak secara finansial.
Kelayakan tersebut sesuai berdasarkan aturan tarif dan struktur pembiayaan proyek yang umum dipakai di Indonesia.
333 GW potensi tersebut terbagi menjadi tiga pembangkit energi terbarukan yakni pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 165,9 GW, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) 167,0 GW, dan pembangkit listrik tenaga mini dan mikrohidro (PLTM) 0,7 GW.
Koordinator Riset Sosial, Kebijakan dan Ekonomi IESR Martha Jesica Mendrofa mengungkapkan, ada enam wilayah unggulan untuk pengembangan energi terbarukan berdasarkan kajian.
Baca juga: Selamat Tinggal Panel Surya, Dinding Rumah di Masa Depan Bisa Hasilkan Listrik
Papua dan Kalimantan menjadi daerah dengan konsentrasi tertinggi untuk pengembangan PLTS. Maluku, Papua, dan Sulawesi Selatan dinilai optimal untuk PLTB. Adapun Sumatera Barat dan Sumatera Utara memiliki potensi terbesar untuk PLTM.
Martha menjelaskan, wilayah-wilayah ini memiliki lokasi pengembangan proyek energi terbarukan dengan tingkat Equity Internal Rate of Return (EIRR) yang tinggi, menjadikannya layak secara finansial.
Bahkan IESR menemukan, sekitar 61 persen dari 333 GW potensi proyek energi terbarukan, atau sekitar 206 GW, tingkat EIRR-nya di atas 10 persen berdasarkan aturan tarif yang berlaku dan struktur pendanaan proyek yang digunakan dalam kajian.
Kapasitas ini lebih besar dari target yang dibutuhkan Indonesia dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), yang menargetkan sekitar 180 GW PLTS dan PLTB hingga 2060.
Baca juga: Kapasitas Listrik Tenaga Surya di Dunia Bertambah 593 Gigawatt Tahun Ini
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya