Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahlil: Energi Surya dan Angin untuk Siang, Batu Bara saat Malam

Kompas.com, 19 Februari 2025, 19:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengusulkan gabungan pemanfaatan batu bara dengan energi baru terbarukan (EBT).

Hal tersebut disampaikan Bahlil dalam acara Indonesia Economic Summit di Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Dia menuturkan, EBT seperti surya dan angin akan dimanfaatkan pada siang hari. Sedangkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dimanfaatkan pada malam hari.

Baca juga: 3,4 Juta Ton Abu Sisa Batu Bara Disulap Jadi Bahan Baku Semen hingga Beton

Dia menyebutkan, kombinasi tersebut dapat menjaga harga listrik tetap terjangkau dan daya saing industri tetap terjaga.

"Kita blending agar harganya pas masuk. Karena kalau tidak, saya yakinkan bahwa kita akan mengalami persoalan yang susah. (Strategi ini dilakukan) supaya industri kita bisa tetap kompetitif dengan produk-produk yang lain," kata Bahlil, sebagaimana dilansir Antara.

Bahlil menyampaikan, PLTU batu bara dapat dipasangi penangkap karbon atau carbon capture and storage (CCS).

Dengan teknologi tersebut, emisi yang dihasilkan PLTU batu bara ditangkap kemudian disimpan di bekas sumur minyak dan gas (migas).

Bahlil menyampaikan, sebagai bagian dari komitmen global seperti Perjanjian Paris, Indonesia disebut berencana memensiunkan sebagian PLTU batu bara.

Baca juga: JETP Bisa Bantu Pemerintah untuk Pensiunkan Dini PLTU Batu Bara

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemanfaatan batu bara sebagai pembangkit listrik akan berkurang signifikan dan digantikan dengan gas serta EBT.

Namun, setelah AS keluar dari Perjanjian Paris di masa kepemimpinan Donald Trump untuk mementingkan kepentingan domestik, Bahlil menduga ada kekeliruan dari kesepakatan global tersebut.

Apalagi, Bahlil menyebutkan Indonesia menghadapi tantangan besar dalam implementasi EBT.

Problem gas

Dia menilai, biaya produksi listrik dari gas juga jauh lebih mahal dibandingkan batu bara dengan selisih Rp 5 triliun sampai Rp 6 triliun per gigawatt (GW) per tahun.

Apabila Indonesia hendak membangun 10 GW pembangkit listrik tenaga gas hingga tahun 2029, lanjutnya, maka selisih biaya yang harus ditanggung bisa mencapai Rp 50 triliun dalam setahun.

Baca juga: Bahlil: Pensiun Dini Batu Bara Boleh, Asal Ada Duitnya

Artinya, lanjut Bahlil, dibutuhkan Rp 500 triliun hingga tahun 2034 jika ditargetkan pembangunan pembangkit listrik tenaga gas sebanyak 21 GW.

Untuk menanggung beban biaya sebesar itu, maka opsi yang ada ialah menaikkan tarif listrik atau negara memberikan subsidi. Jika negara memilih subsidi, maka beban anggaran bakal semakin besar.

Bahlil berujar, gas juga menjadi problem tersendiri, mengingat dibutuhkan 250 kargo gas alam yang dicairkan atau liquefied natural gas (LNG) untuk 10 GW pembangkit listrik tenaga gas.

Ini berarti, tutur Bahlil, hampir seluruh produksi gas dalam negeri bakal habis dipakai guna memenuhi kebutuhan listrik.

"Jadi, ini dilema yang sangat luar biasa. Sudah harganya tinggi, gas kita dipakai semua ke sana," ucap Bahlil.

“Saya laporkan kepada Pak Presiden (Prabowo Subianto), saya bilang kalau batu bara kita ini kan masih banyak, kenapa harus kita ikut gendang negara-negara besar? China, India, masih batu bara, cuma di-blending. Saya sampaikan kepada Pak Presiden, Pak, kalau Bapak izinkan, kasih kami waktu, kita buat strategi agar cost-nya tidak mahal, tapi energi baru terbarukan tetap ada," sambungnya.

Baca juga: Transisi Energi Masih Lambat, Pengamat: RI Masih Ketergantungan Batu Bara

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau