Namun, pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan kelestarian lingkungan adalah pertumbuhan yang rapuh dan tidak berkelanjutan.
Dampak lingkungan dari ekspansi sawit tidak bisa dipandang sebelah mata. Hilangnya hutan tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan emisi karbon dan perubahan iklim sebagai dampak dari pembukaan lahan untuk tanaman sawit.
Penggundulan dan kebakaran hutan yang terjadi di sekitar perkebunan sawit dapat melepaskan karbon ke udara. Setiap hektare lahan yang terbakar dapat melepaskan 427,2 ton karbon.
Masyarakat adat yang telah berabad-abad hidup berdampingan dengan hutan terancam kehilangan sumber penghidupan mereka.
Kisah Orang Rimba yang tersisih dari hutan leluhur mereka adalah salah satu gambaran nyata tentang dampak pembangunan, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam terhadap masyarakat adat di Indonesia.
Orang Rimba, juga dikenal sebagai Suku Anak Dalam, adalah komunitas adat yang tinggal di kawasan hutan Sumatera, terutama di Provinsi Jambi.
Hutan bagi mereka bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga sumber kehidupan dan pusat budaya yang membentuk identitas mereka selama berabad-abad.
Indonesia perlu mengambil langkah bijaksana dengan mengutamakan peningkatan produktivitas lahan sawit yang ada daripada membuka lahan baru.
Baca juga: Meragukan Relasi Positif Makan Bergizi Gratis dan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Pendekatan ini dapat dilakukan melalui program intensifikasi pertanian, penerapan teknologi modern, dan peningkatan efisiensi produksi, sehingga hasil panen dapat dimaksimalkan tanpa harus mengorbankan hutan.
Meski pembukaan lahan pada hutan sekunder dapat dipertimbangkan, isu lingkungan sering kali muncul akibat alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit.
Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan menjadi hal yang krusial.
Untuk mendukung keberlanjutan sektor sawit, sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) perlu ditetapkan sebagai standar wajib bagi seluruh pelaku industri, bukan sekadar opsi.
Selain itu, pemerintah harus mendorong inovasi dalam pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai tanpa bergantung pada perluasan lahan, sekaligus meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global.
Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa ada dikotomi antara ekonomi dan lingkungan. Keduanya adalah sisi mata uang yang sama dalam pembangunan berkelanjutan.
Ekspansi sawit memang menawarkan keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi tanpa pendekatan yang berkelanjutan, kita berisiko mewariskan krisis lingkungan kepada generasi mendatang.
Sudah saatnya Indonesia membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat berjalan seiring.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya