KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil menilai, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Aliansi yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat tersebut menyatakan, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat menyejahterakan masyarakat adat.
Perwakilan Tim Kampanye Koalisi RUU Masyarakat Adat Uli Artha Siagian menuturkan, selain bermanfaat bagi masyarakat adat, RUU tersebut juga bisa melestarikan alam sehingga memiliki resiliensi ekonomi yang kuat.
Baca juga: AMAN: UU TNI Dinilai Ancam Keamanan Masyarakat Adat
"Selain ekonomi rakyat sudah terbangun, kehidupan masyarakat juga ditopang oleh lingkungan yang baik," kata Uli, sebagaimana dilansir Antara, Senin (24/3/2025).
Dia menegaskan, pengarusutamaan kepentingan masyarakat mampu menghasilkan dampak yang lebih besar dari sekadar keuntungan ekonomi.
"Valuasi ekonomi yang dihidupkan dan dipraktikkan oleh masyarakat adat, penerima manfaat langsungnya adalah masyarakat. Kalau kemudian negara punya mekanisme bagaimana itu bisa menjadi pemasukan negara, itu bisa disusul bagaimana mekanismenya, misal melalui perhutanan sosial," paparnya.
Ia menekankan pentingnya perubahan paradigma ekonomi dari industri yang ekstraktif menuju ekonomi yang lebih berbasis kepada masyarakat adat.
Baca juga: Mandek 15 Tahun, Bahas Segera RUU Kehutanan demi Hak Masyarakat Adat
"UU Masyarakat Adat menjadi penting karena memastikan adanya perlindungan. Bukan hanya pengetahuan, melainkan juga praktik lokal di tengah masyarakat adatnya. Jadi, permintaan yang kita dorong itu untuk tidak lagi menunda pengesahan RUU masyarakat adat," ujar Uli.
Sebelumnya, Anggota DPD RI Agustin Teras Narang mengingatkan, pengesahan RUU Hukum Adat tidak hanya untuk pengakuan atas hak, tetapi juga pelindungan dan pemberdayaan.
"Karena itu adalah perintah konstitusi dan kondisi masyarakat adat pun memerlukan kepastian itu. Kita, masyarakat hukum adat, bukan hanya sekadar pengakuan, penghormatan, tetapi juga memerlukan perlindungan dan perlu adanya pemberdayaan," kata Agustin.
Dia berujar, peran masyarakat adat dan kearifan lokalnya masuk dalam tata kelola lahan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat: Janji Politik atau Ilusi Hukum?
Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pada 2024 ada 687 konflik agraria di wilayah adat.
Konflik tersebut mengakibatkan hilangnya 11,07 juta hektare tanah adat akibat ekspansi korporasi dan proyek pembangunan tanpa persetujuan masyarakat adat.
Sebanyak 925 orang masyarakat adat dikriminalisasi, 60 orang mengalami kekerasan oleh aparat negara, dan satu orang meninggal dunia.
Baca juga: Petani Sawit dan Masyarakat Adat Kolaborasi Deklarasi Hutan Adat di Sekadau Kalbar
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya