KOMPAS.com – Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq memperingatkan produsen yang abai dalam mengelola sampah dari produk mereka.
Peringatan tersebut ia sampaikan saat meninjau proses pemulihan sampah plastik di fasilitas milik organisasi lingkungan Sungai Watch di Sukawati, Gianyar, Bali, Senin (24/3/2025).
Dalam kesempatan itu, Hanif menegaskan akan menerapkan pendekatan polluter pays principle terhadap produsen yang terbukti mencemari lingkungan.
Sebagai informasi, prinsip polluter pays menyatakan bahwa pihak yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan diwajibkan menanggung biaya atas dampak yang dihasilkan.
“Peringatan ini sekaligus memperkuat komitmen Kementerian LH dalam menegakkan tanggung jawab produsen terhadap sampah kemasan yang mereka hasilkan,” ujar Hanif dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (27/3/2025).
Hanif menambahkan, langkah yang diambil olehnya itu dilandaskan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa produsen wajib memastikan kemasan produknya mudah ditangani atau didaur ulang.
Lebih lanjut, Hanif menjelaskan bahwa Kementerian LH juga akan menindaklanjuti data yang dikumpulkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan seperti Sungai Watch.
Penindaklanjutan akan dilakukan melalui penerbitan sanksi administratif, termasuk paksaan kepada produsen untuk membayar ganti rugi.
Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jika skema ganti rugi dan upaya pemulihan lingkungan tidak dijalankan secara maksimal, Hanif menegaskan bahwa Kementerian LH tidak akan ragu membawa kasus tersebut ke jalur hukum.
“Kami akan tindak dan datanya sudah konkret. Kementerian tidak akan ragu untuk mengajukan gugatan hukum ke pengadilan dengan sanksi pidana sebagai konsekuensi tambahan. Sepertinya hampir di semua pengadilan (bahwa) kami tidak pernah kalah," tegas Hanif.
Untuk diketahui, belum lama ini Sungai Watch merilis Brand Audit Report 2024 yang dilakukan di wilayah Jawa Timur dan Bali.
Dalam laporan tersebut, ditemukan bahwa sebanyak 10 perusahaan, salah satunya market leader air minum dalam kemasan (AMDK) multinasional masuk sebagai penyumbang sampah terbesar.
Berdasarkan audit, semua perusahaan tersebut dikatakan berkontribusi sekitar 47 persen dari 623.021 buah sampah kemasan.
Laporan itu juga menyoroti ketidaksesuaian antara klaim keberlanjutan yang digaungkan oleh salah satu produsen dengan praktik nyata di lapangan.
Meski menyatakan bahwa kemasan produknya 100 persen dapat didaur ulang, hasil audit menunjukkan bahwa ketergantungan pada kemasan plastik sekali pakai berukuran kecil masih sangat tinggi.
Alhasil, sampah plastik berukuran kecil itu terus mencemari lingkungan karena sulit untuk dikumpulkan dan didaur ulang secara efektif.
Atas dasar itu, Sungai Watch mengaku kecewa dan mempertanyakan komitmen keberlanjutan lingkungan dari perusahaan yang bersangkutan.
Untuk pemerintah, temuan dari Sungai Watch juga menjadi pengingat penting bahwa kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 kini menghadapi ujian nyata.
Oleh karena itu, penerapan yang tegas diperlukan untuk mendorong produsen tidak bertanggung jawab agar dapat mengurangi ketergantungan pada kemasan plastik berukuran kecil yang sulit diproses ulang.
Jika tidak, mereka harus bersiap menghadapi sanksi berat, mulai dari kewajiban membayar ganti rugi hingga potensi tuntutan pidana.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya