Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli BRIN: Laut Makin Tercemar karena Aktivitas Manusia dan Krisis Iklim

Kompas.com, 18 Maret 2025, 12:00 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova, mengungkapkan air laut di Indonesia makin tercemar karena aktivitas manusia.

Pencemaran tersebut diakibatkan sampah plastik, industri, rumah tangga, aktivitas pertanian, perubahan iklim atau kenaikan suhu air laut.

Reza mengatakan bahwa pencemaran air laut berimbas pada ekosistem laut, kesehatan manusia, hingga perekonomian.

"Jika polutan masuk ke wilayah pesisir dan laut maka akan mengganggu kestabilan dari berbagai macam habitat laut," ujar Reza saat dihubungi, Senin (17/3/2025).

"Material pencemarnya ini bisa terlihat ataupun tidak terlihat. Sampah plastik contohnya bisa memasuki rantai makanan yang ada di laut, yang akhirnya mencemari produk seafood," imbuh dia.

Ia menyebutkan, mikroplastik dan logam berat yang masuk ke laut bakal mengakibatkan kematian langsung pada organisme laut yang akhirnya menurunkan keanekaragaman hayati.

Alhasil, produk panganan dari laut akan ikut menurun yang berefek pada sektor perekonomian.

Baca juga: Dampak Polusi Plastik pada Hewan, Burung Laut Alami Kerusakan Otak 

"Pencemar dari polutan yang berbahaya dan beracun, seperti logam berat atau persisten organik polutan akan mengganggu proses metabolisme manusia. Selain itu juga dapat menyebabkan kerusakan saraf, gangguan pertumbuhan dan perkembangan hingga kematian," jelas Reza.

Menurutnya kualitas air laut di beberapa wilayah pesisir Indonesia, terutama yang padat penduduk dan memiliki aktivitas industri serta pertambangan besar cenderung mengalami penurunan.

Kondisi tersebut terkait dengan sejumlah faktor termasuk aktivitas manusia dan tingkat flushing rate atau laju pertukaran air di wilayah pesisir, yang berperan menjaga kualitas air.

"Memang bisa kita katakan wilayah padat penduduk seperti di Pulau Jawa atau wilayah yang memiliki aktivitas industri dan pertambangan yang besar, tetapi tidak dikelola dengan baik menjadi wilayah yang kualitas air lautnya cenderung rendah," papar Reza.

Berdasarkan data dari berbagai laporan dan publikasi ilmiah, penurunan kualitas air terjadi di Teluk Jakarta, laut Jawa, dan Selat Makassar.

"Ketiga wilayah tersebut merupakan contoh yang padat penduduk, menjadi jalur pelayaran utama di Indonesia, dan pengawasan lingkungannya perlu ditingkatkan," lanjut dia.

Adapun saat ini pemerintah telah memiliki regulasi terkait perlindungan laut. Namun, kata Reza, implementasi dari regulasi tersebut masih belum optimal.

"Penegakan hukum yang kuat dan tegas akan mendorong industri dan masyarakat untuk lebih bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan," tutur dia.

Upaya lainnya ialah melakukan konservasi maupun restorasi ekosistem laut yakni konservasi terumbu karang, padang lamun, hingga mangrove untuk mengembalikan keseimbangan pesisir laut yang telah rusak.

Baca juga: Polusi Indonesia Turun, tapi Masih Jauh di Atas Ambang WHO

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
BBM E10 Persen Dinilai Aman untuk Mesin dan Lebih Ramah Lingkungan
BBM E10 Persen Dinilai Aman untuk Mesin dan Lebih Ramah Lingkungan
Pemerintah
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
LSM/Figur
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Pemerintah
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar 'Langkah Membumi Ecoground 2025'
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar "Langkah Membumi Ecoground 2025"
Swasta
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
BUMN
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
Pemerintah
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
LSM/Figur
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Pemerintah
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
Pemerintah
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
Pemerintah
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
LSM/Figur
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
Pemerintah
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Pemerintah
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Swasta
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau