KOMPAS.com - Studi PwC mengungkap, pasar layanan hukum keberlanjutan di Singapura akan tumbuh besar, mencapai antara 450 juta hingga 500 juta dollar Singapura pada tahun 2033.
Sesuai namanya, layanan hukum keberlanjutan ini menyediakan layanan hukum terkait dengan isu-isu keberlanjutan seperti hukum lingkungan, regulasi ESG, transisi energi, dan lain-lain.
Pertumbuhan yang diperkirakan PwC itu tiga kali lebih besar dibandingkan perkiraan nilai pasar layanan hukum keberlanjutan pada tahun 2023, yang diperkirakan antara 140 juta hingga 180 juta dollar Singapura.
Ini berarti setiap tahunnya, nilai pasar diperkirakan akan meningkat sebesar 10 persen dari nilai tahun sebelumnya.
Alasan utama di balik pertumbuhan pesat ini adalah meningkatnya kebutuhan akan layanan hukum dua area utama yang berkaitan dengan keberlanjutan.
Baca juga: Tren Investasi Properti Indonesia Mengarah ke Keberlanjutan
Pertama, peluang hukum yang baru muncul, contohnya pasar karbon dan sengketa terkait keberlanjutan yang diperkirakan akan meningkat dari 20-40 juta dollar Singapura menjadi 110-130 juta dollar Singapura.
Area kedua adalah penambahan elemen terkait keberlanjutan pada alur kerja hukum yang sudah ada, seperti penyusunan kontrak dan kepatuhan regulasi, yang diproyeksikan tumbuh dari 120–140 juta dollar Singapura menjadi 330–350 juta dollar Singapura dalam periode waktu yang sama.
Mengutip Know ESG, Senin (21/4/2025), regulasi keberlanjutan di Singapura memang semakin ketat.
Misalnya, Perusahaan-perusahaan besar di Singapura kemungkinan diwajibkan untuk secara transparan melaporkan data terkait emisi gas rumah kaca mereka dan upaya mereka dalam mengatasi perubahan iklim.
Selain itu, regulasi internasional seperti Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon Uni Eropa yang mengatur desain, konstruksi dan operasional bangunan agar lebih ramah lingkungan dan hemat energi.
Tak hanya peraturan domestik, regulasi internasional seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dari Uni Eropa mewajibkan bisnis yang mengekspor ke Eropa untuk mengungkapkan emisi karbon mereka.
Berbagai perubahan regulasi ini pun secara signifikan memengaruhi industri hukum di Singapura.
Baca juga: Dorong Pelaporan, UE Sederhanakan Aturan Keberlanjutan
Akan tetapi, di tengah perkembangan ini, firma hukum Singapura menghadapi beberapa kendala dalam bersaing dengan korporasi internasional yang memiliki sumber daya dan pengalaman lebih besar di bidang tersebut.
Studi PwC pun menekankan bahwa untuk mengatasi persaingan pengacara di Singapura, perlu mengembangkan keterampilan keberlanjutan, pengetahuan teknis, dan keahlian di pasar karbon serta inovasi digital, serta menjalin kemitraan dan terus mengembangkan diri agar tetap kompetitif di pasar yang berkembang ini.
Studi menggaris bawahi pula bahwa meskipun pasar layanan hukum keberlanjutan secara keseluruhan akan tumbuh, beberapa sub-area mungkin mengalami penurunan permintaan di masa depan setelah regulasi stabil.
Oleh karena itu, firma hukum disarankan untuk tidak hanya mengandalkan area tersebut, melainkan juga fokus mengembangkan spesialisasi, membangun merek yang kuat di bidang keberlanjutan, dan menjalin kemitraan strategis untuk memaksimalkan peluang dalam sektor yang secara keseluruhan menjanjikan ini.
Baca juga: Cara Perusahaan Bisa Lebih Peduli Alam Lewat Strategi Keberlanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya