KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti anomali iklim yang menyebabkan intensitas badai tropis sering terjadi di perairan Indonesia.
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Cuaca Ekstrem BRIN, Erma Yulihastin memaparkan riset lima tahun terakhir yang menunjukkan, badai tropis yang seharusnya menjauh dari Indonesia justru cenderung makin mendekat ke daratan.
Baca juga:
"Fakta pertama, badai makin intensif, sesuatu yang dulu dianggap peristiwa 100 tahun sekali sekarang dalam waktu lima tahun terakhir kita sudah dua kali badai dahsyat yang katastropik (merusak)," ujar Erma dalam webinar di YouTube Madani Berkelanjutan, Kamis (18/12/2025).
Siklon seroja, misalnya, yang terjadi pada 2021 menewaskan 181 jiwa.
Kemudian disusul siklon senyar pada November 2025 lalu yang sampai memicu banjir bandang di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat, serta merenggut nyawa 1.059 orang, dilaporkan oleh Kompas.com, Rabu (17/12/2025).
Padahal, menurut Erma, kekuatan angin seroja berada di level tiga dengan pusaran badai terjadi di Laut Sawu, tepatnya di antara Kupang dan Flores.
Sebaliknya, siklon Senyar hanya sepertiga dari kekuatan siklon seroja, tapi dampaknya jauh lebih besar.
"Artinya, ada jauh lebih banyak di luar faktor cuaca yang berkontribusi," imbuh dia.
Erma mengatakan, energi dari siklon senyar hanya berkontribusi sekitar 20 persen terhadap kerusakan, sedangkan sisanya dipicu lingkungan.
Baca juga:
Foto udara kondisi sekitar jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Kamis (11/12/2025). Warga masih melintasi jembatan darurat dari batang kayu akibat jalan dan jembatan penghubung antara Kabupaten Tapanuli Selatan menuju Tapanuli Tengah-Sibolga serta Medan putus diterjang banjir bandang pada Selasa (29/11). Dalam sebuah percobaan, diketahui deforestasi serta perubahan tutupan lahan berpengaruh besar terhadap pergerakan badai.
Badai tropis semakin mendekat ke sekitar pesisir Indonesia karena suhu permukaan laut saat ini lebih panas dibandingkan di tengah laut.
"Ternyata suhu permukaan atau suhu darat kan dipengaruhi cooling (pendinginan), dan warming-nya (penghangatannya) dipengaruhi evaporasi yang diakibatkan (deforestasi) hutan. Itu ternyata punya pengaruh," jelas Erma.
Erma memproyeksikan, Sumatera menjadi wilayah dengan kerentanan terhadap perubahan iklim tertinggi di Indonesia hingga 20 tahun ke depan.
Berdasarkan 14 model iklim, peneliti memetakan wilayah yang paling rentan terhadap angin dan hujan ekstrem pada periode musim hujan yakni Desember hingga Februari.
"Peringkat pertama Sumatera, kedua Kalimantan, Jawa, dan keempat Sulawesi kalau angin ekstrem. Kalau hujan ekstrem, lagi-lagi Sumatera menduduki peringkat pertama (paling rentan)," jelas Erma.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya