Sebuah studi membuktikan partisipasi bisa membangun keyakinan diri dan
kelompok dalam mengatasi krisis lingkungan (self and community efficacy).
Di level sederhana, mungkin kamu bisa ikut clicktivism dengan mendukung aksi lingkungan secara daring, atau secara aktif mengunggah konten-konten pro-lingkungan.
Di level lebih luas, kamu bisa aktif dalam berbagai aksi, seperti eco-volunteering, memberi edukasi ke masyarakat terdampak bencana, atau bergabung sebagai aktivis konservasi.
Baca juga: Cegah Bencana, Pendekatan Ekologis Perlu Jadi Landasan Pembangunan Daerah
Di Indonesia, masyarakat terutama generasi muda memiliki perhatian besar akan isu lingkungan. Namun, sebagian dari mereka tidak tahu harus ke mana atau kepada siapa harus menyuarakannya.
Ini saya temukan dalam sebuah studi saya bersama tim di sekitar Bendungan Katulampa Kota Bogor. Bendungan ini adalah salah satu bagian hulu Sungai Ciliwung yang kerap dituding sebagai pengirim banjir ke Jakarta.
Kami menemui kelompok muda sekitar yang ternyata punya banyak usulan dan ingin terlibat mengatasi masalah air dan mengurangi risiko banjir, tetapi mereka tidak tahu cara menyampaikannya. Kami lalu menjembatani komunikasi mereka dengan pemerintah setempat lewat sebuah forum, termasuk salah satunya Wali Kota Bogor saat itu, Bima Arya.
Dari hasil diskusi, tercetus beberapa rekomendasi pemberdayaan masyarakat seperti pelatihan pengelolaan air (termasuk teknik untuk mencegah pencemaran dan menjaga kelestarian sumber air) dan mendorong penerapan sistem pemanen air hujan. Dari sini, masyarakat bisa belajar melakukan konservasi air.
Secara umum, saluran resmi bagi anak muda untuk terlibat dalam kebijakan dan aksi lingkungan masih minim, sementara forum formal sering tidak inklusif atau sesuai dengan gaya komunikasi mereka. Akibatnya, muncul rasa frustrasi, tidak dipercaya, atau bahkan apatis, karena merasa suara mereka tidak didengar atau tidak berdampak.
Baca juga: Bencana Terkait Air Picu Kerugian hingga 550 Miliar Dolar AS
Peran kampus dan medsos
Salah satu kelompok yang paling resah akan krisis iklim adalah anak muda. Mereka kebanyakan berada di kampus dan media sosial (medsos). Oleh karena itu, dua medium ini strategis untuk memengaruhi pola pikir dan perilaku anak muda.
Kampus
Kampus bisa mengintegrasikan program dan isu lingkungan dalam mata kuliah, baik melalui studi kasus, proyek akhir, atau melalui kolaborasi dengan mitra dalam edukasi atau kampanye peduli lingkungan.
Pendekatan ini pernah saya lakukan saat mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya menyelaraskan praktikum teknik lingkungan (identifikasi sumber pencemaran dan analisis perencanaan saluran sungai) dengan program kegiatan mahasiswa seperti aksi bersih sungai. Dengan demikian, mahasiswa bisa belajar sambil berkontribusi nyata terhadap lingkungan.
Atau kampus juga bisa berkolaborasi dengan mitra untuk mengampanyekan program-program pro-lingkungan, seperti pengurangan penggunaan plastik sekali pakai yang dilakukan di kantin kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya