KOMPAS.com - Istilah gaya hidup berkelanjutan atau green lifestyle kini semakin sering terdengar, terutama di tengah meningkatnya kesadaran akan krisis iklim dan konsumsi berlebih. Tapi apa sebenarnya makna di balik jargon ini?
Bagi Chynthia Suci Lestari, gaya hidup berkelanjutan bukan sekadar tren atau gaya hidup ramah lingkungan yang keren di media sosial
“Definisi hidup berkelanjutan menurut aku adalah melanjutkan hidup, tapi sembari menyadari kalau yang harus melanjutkan hidup bukan cuma kita, manusia.”
Baginya, manusia di bumi tidak hidup sendiri. Ada tumbuhan, hewan, dan lingkungan yang hidup berdampingan. Semua itu perlu ruang dan sumber daya untuk tetap hidup.
“Jangan sampai kita hidup mengeksploitasi bumi, karena banyak hidup yang harus berlanjut—bahkan manusia sendiri akan ada generasi-generasi lainnya. Masa iya, kita mau mewariskan bumi yang rusak karena kita eksploitasi dengan tidak bertanggung jawab?” ujarnya saat bicara dengan Kompas.com pada Jumat (25/4/2025).
Gaya Hidup Berkelanjutan Dimulai dari Titik Terendah
Chynthia, yang kini dikenal lewat akun Instagram @lyfewithless, tak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi sosok yang menyuarakan gaya hidup minimalis dan berkelanjutan.
Dulu, ia gemar belanja dan mengikuti tren fast fashion tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan.
Semua berubah ketika keluarganya mengalami kebangkrutan. Kehidupan yang sebelumnya serba cukup berubah drastis, memaksanya untuk menyesuaikan diri dan menahan konsumsi.
"Aku udah enggak bisa foya-foya. Tren fast fashion itu nggak bisa diikuti lagi,” katanya.
Dia bahkan menjual hampir 80 persen barang-barangnya demi membantu ekonomi keluarga—tanpa tahu bahwa langkah itu kelak akan jadi filosofi hidupnya.
Pengalaman tersebut menjadi titik balik. Di tengah keterbatasan, Chyntia mulai menyadari bahwa hidup dengan sedikit barang justru membuatnya lebih tenang dan ringan.
Tanpa disadari, ia telah mempraktikkan prinsip decluttering dan konsumsi sadar (conscious consumption).
Dari Personal Struggle ke Komunitas: Lahirnya @lyfewithless
Melalui proses tersebut, Chyntia mulai mengenal istilah sustainable living dan menemukan bahwa ia tidak sendiri.
Dia mulai sadar, gaya hidup fast fashion menyumbang limbah besar. Pakaian sulit terurai dan hanya menambah beban sampah di bumi.
Dari media sosial, dia juga mengenal decluttering dan konsumsi sadar yang ternyata punya semangat yang sama dengan yang dilakukannya.
Perlahan, ia berbagi kisah dan refleksi hidupnya melalui akun Instagram @lyfewithless yang kini telah diikuti lebih dari 130 ribu orang.
"Aku pengen kasih tahu kalau cara hidup seperti ini tuh menyenangkan, lebih menyenangkan dibanding belanja barang baru setiap bulan,” jelas Chynthia.
@lyfewithless berkembang menjadi komunitas berbasis kesadaran lingkungan.
Salah satu inisiatifnya adalah program Silang Saling, yaitu kegiatan tukar-menukar barang layak pakai agar tidak berakhir di tempat sampah.
“Misalkan bosan sama suatu barang, daripada ditumpuk dan ujung-ujungnya dibuang, lebih baik ditukar dengan orang yang membutuhkan. Itu upaya untuk memperpanjang umur barang,” jelas Cynthia.
Lebih dari Slow Fashion: Mengubah Pola Konsumsi
Menurut Chynthia, gaya hidup berkelanjutan bukan hanya tentang mengenakan pakaian bekas atau produk ramah lingkungan, tapi soal menghargai setiap barang hingga akhir masa pakainya.
"Setiap barang yang kita gunakan nggak harus baru kok. Barang-barang lama bisa kita perpanjang umurnya," katanya.
Ia menyebutnya sebagai “low consumption lifestyle.”
Setiap produk punya jejak karbonnya sendiri, dari proses produksi, kemasan, sampai distribusi. Memperpanjang usia barang adalah langkah sederhana tapi dampaknya besar untuk bumi
Chyntia menyoroti limbah dari barang baru, dari packaging hingga label-label. Dengan memperpanjang penggunaan barang, setidaknya kita bisa menahan laju penambahan limbah di TPA.
Hidup Berkelanjutan: Pilihan Sadar, Bukan Keterpaksaan
Jika dulu ia hidup minimalis karena terpaksa, kini Chynthia menjalaninya dengan penuh kesadaran. Baginya, hidup berkelanjutan adalah tentang memilih untuk tidak merampas hak hidup makhluk lain—baik itu manusia, hewan, maupun alam.
“Aku juga berharap lebih banyak pihak yang mau berkolaborasi di ranah keberlanjutan ini, karena perlu adanya keseimbangan antara kapitalisme, konsumerisme, dan bumi yang lebih hijau,” katanya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya