KOMPAS.com - Perjanjian Paris atau Paris Agreement telah berusia 10 tahun pada tahun ini sejak diinisiasi pada 2015 dalam KTT iklim COP21 di Paris, Perancis.
Perjanjian yang mengikat hampir 200 negara dan pihak tersebut menjadi salah satu pakta penting yang mengikat negara-negara untuk menangani krisis iklim.
Memasuki perayaan 10 tahunnya, Perjanjian Paris sempat diwarnai gonjang-ganjing awal tahun ini setelah Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) keluar dari perjanjian ini.
Penarikan AS dari Perjanjian Paris ini membuat banyak pihak kecewa karena "Negeri Paman Sam" adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia, penyebab utama krisis iklim.
Dengan keluarnya AS, kini negara dan pihak yang meratifikasi Perjanjian Paris tersisa 195 dari sebelumnya 196. Selain itu, masih ada negara yang sampai sekarang belum meratifikasi pakta ini yakni Iran, Libya, dan Yaman.
Akan tetapi, banyak pihak masih berharap banyak terhadap Perjanjian Paris agar dunia semakin ambisius dan bersatu padu melawan krisis iklim.
Baca juga: Perjanjian Paris: Sejarah, Isi, dan Urgensinya
Salah satu tujuan utama dari Perjanjian Paris adalah mencegah suhu Bumi naik tak lebih dari 2 derajat celsius, dan kalau bisa 1,5 derajat celsius, dibandingkan masa pra-industri.
Ambang batas 2 derajat celsius tidak dipilih secara sembarangan. Para ilmuwan meyakini, angka tersebut menjadi ambang batas yang menyebabkan perubahan besar di Bumi.
Jika ambang batas tersebut terlampaui, Bumi akan mengalami perubahan yang dahsyat dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Untuk mencegah kenaikan suhu, negara-negara harus menekan emisi GRK mereka yang tertuang dalam dokumen kebijakan iklim bernama Nationally Determined Contribution (NDC).
Baca juga: Perjanjian Paris Tanpa AS, Sekjen PBB: Transisi Energi Dunia Tak Terhentikan
NDC juga dapat diartikan sebagai rencana aksi iklim nasional yang menguraikan bagaimana suatu negara berencana untuk mencapai target pengurangan emisi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Secara keseluruhan, sebuah NDC dianggap memiliki kekuatan yang besar jika terperinci, ambisius, dan kredibel.
NDC harus menetapkan target pengurangan emisi untuk sektor-sektor utama penghasil GRK seperti energi dan transportasi, sambil menyelaraskan kebijakan nasional yang dapat menghambat kemajuan dalam transisi ke energi bersih, seperti subsidi bahan bakar fosil.
Dokumen ini akan ditinjau tiap lima tahun sekali dengan maksud untuk meningkatkan ambisi penanganan perubahan iklim.
Di samping itu, dalam Perjanjian Paris, negara maju juga dituntut membantu negara miskin dalam pendanaan atau pembiayaan iklim.
Baca juga: Ketahanan Ekonomi dan Energi RI Terancam Jika Mundur dari Perjanjian Paris
Saat ini, dalam 10 tahun terakhir, rata-rata suhu Bumi sudah naik 1,1 derajat celsius bila dibandingkan masa praindustri.
Bahkan, Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO) mengonfirmasi bahwa 2024 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan yang dimulai 175 tahun lalu.
Dalam laporan terbaru berjudul State of the Global Climate 2024, WMO menyebutkan suhu rata-rata global 1,55 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.
Di sisi lain, dunia sepakat melalui Perjanjian Paris untuk mencegah suhu Bumi tidak naik lebih dari 1,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri.
Baca juga: AS Keluar dari Perjanjian Paris, Menteri LH Sebut RI Komitmen Tangani Isu Iklim
Selain kenaikan suhu Bumi yang signifikan, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer pada 2024 mencapai titik tertinggi dalam 800.000 tahun, dan lautan terus menghangat pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di sisi lain, mampir 95 persen negara telat menyerahkan janji iklim terbaru mereka berupa Second NDC kepada PBB yang jatuh tempo pada 10 Februari 2025.
Dalam laporannya, Carbon Brief menyebutkan, dari semua pihak yang meratifikasi Perjanjian Paris, baru 13 yang mengirim Second NDC.
Lebih lanjut, negara-negara yang telat menyerahkan janji iklim mereka secara total berkontribusi terhadap 83 persen emisi di dunia.
Pada 6 Februari, Sekretaris Eksekutif UNFCC Simon Stiell dalam pidatonya mengatakan, sebagian besar negara mengindikasikan masih menyusun rencana NDC tahun ini.
Baca juga: Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Investasi Hijau Bisa Lari ke Negara Lain
Di sisi lain, masih ada sisi positif sejak Perjanjian Paris disahkan. Dalam KTT Iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), dunia sepakat untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan global hingga tiga kali lipat pada 2030.
COP28 juga menekankan pentingnya beralih dari energi fosil dan mendorong peningkatan efisiensi energi untuk mengurangi konsumsi energi secara keseluruhan.
Selain itu, hasil akhir KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan adalah negara kaya menjanjikan 300 miliar dollar AS per tahun mulai 2035 untuk membantu negara-negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim.
Di samping itu, 10 anggota G20 yakni Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Uni Eropa, Jepang, Rusia, Afrika Selatan, Inggris, dan AStelah mencapai puncak emisi, prasyarat penting untuk mencapai netralitas karbon.
Baca juga: AS Keluar dari Perjanjian Paris, Indonesia Harus Lebih Kuat Berkolaborasi
Menurut Laporan Kesenjangan Emisi PBB, sebanyak 107 negara yang berkontribusi terhadap 82 persen emisi GRK global telah mengadopsi komitmen netralitas karbon hingga September 2024.
Sebanyak kima negara yang mewakili 0,1 persen emisi GRK global telah mencapai netralitas karbon yakni Bhutan, Komoro, Gabon, Guyana, dan Suriname.
Lembaga antarpemerintah global untuk mendorong transisi energi, International Renewable Energy Agency (IRENA) menyebutkan, kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan perlu bertambah 1.000 gigawatt (GW) per tahun hingga 2030 untuk mencegah kenaikan suhu Bumi 1,5 derajat celsius.
IRENA juga meminta pemerintah di seluruh dunia untuk berambisi lebih dalam mempercepat pengembangan energi terbarukan.
Elektrifikasi dan efisiensi, sebut IRENA, menjadi pendorong utama dalam transisi energi. Pengembangannya dilakukan sejalan dengan energi terbarukan, hidrogen bersih, dan biomassa berkelanjutan.
Baca juga: Pemerintah Tak Ambil Pusing soal AS Keluar dari Perjanjian Paris
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya