KOMPAS.com - Sejumlah konsekuensi membayangi Indonesia di masa depan jika memutuskan mundur dari Perjanjian Paris.
Dampaknya sama sekali tidak menguntungkan bagi Indonesia, dan bisa menjadi ‘bunuh diri ekonomi’ sesungguhnya.
Hal tersebut diungkapkan oleh Sholahudin Al Ayubi, Policy Strategist CERAH dalam keterangan resminya.
Menurut organisasi nirlaba Indonesia yang bekerja untuk memajukan agenda kebijakan transisi energi di Indonesia tersebut ada beberapa sinyal mundurnya Indonesia dari Perjanjian Paris.
Salah satunya adalah pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim S Djojohadikusumo, yang secara tersirat mempertanyakan keikutsertaan Indonesia dalam Perjanjian Paris.
Baca juga: AS Keluar dari Perjanjian Paris, Menteri LH Sebut RI Komitmen Tangani Isu Iklim
Selain itu juga disusul disetujuinya rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang masih mempertahankan PLTU.
Pernyataan tersebut menurut Sholahudin merupakan sinyal pelemahan transisi energi yang akan memperburuk krisis iklim, dan pada gilirannya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
Dengan meratifikasi Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi hingga 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Sektor energi sendiri termasuk penghasil emisi terbesar, sehingga Indonesia menargetkan pensiun dini PLTU dan bertransisi ke energi terbarukan.
Namun, sinyal-sinyal pembatalan pensiun dini PLTU justru menguat. Hal ini diperburuk dengan disetujuinya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang KEN oleh DPR, yang menunjukkan penggunaan PLTU hingga 2060 akan tetap dilanjutkan dengan memanfaatkan teknologi penangkapan karbon dan co-firing.
“Pernyataan pemerintah yang ragu melanjutkan Perjanjian Paris dan kemungkinan membatalkan pensiun dini PLTU perlu dipertimbangkan ulang. Pensiun dini PLTU justru bisa membuka peluang ekonomi yang lebih baik untuk masa depan Indonesia, karena tren investasi global kini mengarah pada negara-negara yang memiliki komitmen kuat untuk bertransisi dan menyediakan sumber energi hijau,” kata Al Ayubi.
Ia mengungkapkan ada beberapa dampak yang akan terjadi pada Indonesia jika keluar dari Perjanjian Paris.
Pertama, turunnya kepercayaan internasional terhadap Indonesia sebagai mitra global untuk mengatasi krisis iklim.
Baca juga: Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Hartawan Michael Bloomberg Rogoh Kocek untuk Badan Iklim PBB
Hal ini berdampak pada hubungan diplomatik dan perdagangan, terutama dengan negara-negara yang memiliki standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), serta pembangunan berkelanjutan yang ketat, seperti Uni Eropa.
Kedua, berpotensi menghambat aliran investasi asing ke Indonesia, khususnya dari negara-negara yang berkomitmen pada pembiayaan hijau dan proyek berkelanjutan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya