Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, optimistis Indonesia tidak akan mengalami defisit gas antara 2025–2035, karena akan ada peningkatan produksi gas.
Namun, data lain menunjukkan kemungkinan defisit di beberapa wilayah pada periode tersebut. Hal ini menciptakan ketidakjelasan antara surplus dan defisit gas.
Menurut Menteri ESDM, peningkatan produksi gas nasional diharapkan akan dimulai pada tahun 2026–2027, terutama dari proyek-proyek yang dikelola oleh perusahaan seperti Eni dan Mubadala Energy. Pemerintah menegaskan bahwa impor gas hanya dilakukan dalam kondisi darurat.
Baca juga: Kiriman LNG Baru Tiba, Gas Bumi untuk Jawa-Sumatera Terjaga
Sebaliknya, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) memproyeksikan defisit gas di beberapa wilayah seperti Sumatera dan Jawa Barat, mencapai puncaknya pada 2035 dengan defisit sekitar 513 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) .
Neraca Gas Indonesia 2024-2033
Neraca Gas Indonesia periode 2024–2033
Proyeksi Neraca Gas Indonesia (NGI) 2024–2033 memperkirakan kebutuhan gas akan stabil hingga tahun 2033.
Namun, penurunan produksi gas dari sumur-sumur tua menjadi tantangan utama, sehingga pasokan saat ini hanya cukup memenuhi kebutuhan kontrak yang ada (contracted demand), tetapi tidak mencukupi permintaan yang lebih luas (committed & potential demand).
Potensi surplus gas diprediksi jika proyek di lapangan gas seperti Blok Masela, Indonesian Deepwater Development (IDD), dan Andaman sukses beroperasi.
Surplus ini diperkirakan mencapai 1.715 MMSCFD dalam sepuluh tahun ke depan dan memungkinkan ekspor LNG.
Namun, menurut lembaga riset Wood Mackenzie, tanpa percepatan pengembangan proyek-proyek baru dan peningkatan investasi, Indonesia akan menghadapi defisit gas pada 2033.
“Sehingga, meskipun pemerintah optimis terhadap potensi surplus gas, namun tanpa langkah-langkah strategis yang tepat, Indonesia berisiko mengalami defisit gas dalam satu dekade ke depan.”
Ada tiga tantangan utama dalam pengelolaan gas nasional: Penurunan produksi sumur-sumur gas, Investasi terbatas, dan Infrastruktur yang kurang.
Mayoritas sekitar 90 persen produksi gas nasional berasal dari ladang-ladang gas tua, yang secara alami telah mengalami penurunan produksi dari waktu ke waktu, karena cadangan gasnya semakin berkurang.
Baca juga: Krisis Gas di Tengah Ambisi Hijau
Regulasi yang kompleks serta kurangnya kebijakan insentif menyebabkan investor menjadi tidak atau kurang tertarik untuk mengeksplorasi ladang-ladang gas baru. Hal ini membuat produksi gas baru sulit untuk ditingkatkan.
Ketersediaan infrastruktur gas masih sangat terbatas, terutama di wilayah timur Indonesia. Hambatan geografis, seperti kondisi alam dan lokasi ladang gas yang berada di laut dalam serta di daerah terpencil, semakin menyulitkan pembangunan dan pengoperasian jaringan distribusi gas yang efektif.
Dewan Energi Nasional (DEN) melaporkan Indeks Ketahanan Energi (IKE) Indonesia tahun 2023 sebesar 6,64 (kategori "tahan"). Penilaian ini berdasarkan empat aspek (4A): Availability (Ketersediaan) Accessibility (Aksesibilitas), Affordability (Keterjangkauan) dan Acceptability (Penerimaan).
Namun, kategori ini patut dipertanyakan karena konsumsi energi per kapita masyarakat Indonesia masih rendah, baik dalam bentuk BBM, BBG maupun Listrik. Sehingga, kategori “tahan” di atas menjadi diragukan atau “semu” (pseudo).
Sebagai perbandingan, konsumsi listrik Indonesia kini sekitar 1.400 kWh per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (9.576 kWh), Malaysia (5.404 kWh), Thailand (3.067 kWh), dan (bahkan) Vietnam (2.507 kWh).
Rendahnya konsumsi energi ini diperparah oleh fenomena deindustrialisasi yang terjadi sebelum Indonesia benar-benar menjadi negara industri. Hal ini ditandai dengan penurunan kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca juga: Potensi Ekonomi Industri Manufaktur Energi Terbarukan Rp 8.824 triliun, 40 Persen PDB
Kontribusi industri terhadap PDB menurun drastis dari 27,8 persen (2008) menjadi 18,67 persen (2023). Penurunan ini mencerminkan melemahnya peran sektor industri dalam perekonomian nasional.
Banyak penutupan atau relokasi pabrik ke negara tetangga karena biaya energi di Indonesia lebih mahal.
Penghentian pabrik-pabrik ini telah berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ratusan ribu pekerja.
Menurut IMF, Indonesia kini memiliki tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN (5,2 persen) per April 2024. Sementara, Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand memiliki angka pengangguran lebih rendah dari Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan AS dan Inggris sekalipun.
Harga gas industri di Indonesia adalah yang termahal di ASEAN. Sebagai perbandingan, harga di Malaysia adalah 4,5 dollar AS, Thailand 5,5 dollar AS, dan Vietnam 6,39 dollar AS per MMBtu.
Melalui Perpres No. 121/2020, pemerintah telah menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar 6 dollar AS/MMBtu untuk industri tertentu.
Peraturan HGBT ini kemudian diperpanjang selama lima tahun ke depan melalui Kepmen ESDM No. 76.K/MG.01/MEM.M/2025.
Dalam keputusan ini, HGBT ditetapkan naik menjadi 6,5 dollar AS per MMBtu untuk industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, dan 7 dollar AS per MMBtu untuk industri yang menggunakan gas sebagai bahan bakar.
Dalam pelaksanaan kebijakan ini terjadi beberapa masalah, antara lain kuota yang tidak terpenuhi, biaya tambahan (surcharge) dan penurunan pasokan gas domestik.
Beberapa industri melaporkan bahwa kuota gas yang diterima hanya sekitar 60–75 persen dari kebutuhan mereka.
Setelah kuota HGBT habis, industri harus membeli gas dengan harga pasar yang lebih mahal hingga tiga kali lipat dari HGBT. Kenaikan harga ini sudah pasti akan menambah beban biaya produksi.
Baca juga: Pemerintah Ubah Skema Harga Gas Industri, Ini Rinciannya
Penurunan pasokan gas dari Sumatera Selatan dan Tengah ke Jawa Barat sebagai pusat industri nasional telah menyebabkan kesulitan pemenuhan kebutuhan gas untuk industri di wilayah tersebut.
Kebijakan tersebut telah menyebabkan industri non-HGBT terpaksa membeli gas dengan harga pasar yang lebih tinggi, seperti LNG spot, yang berdampak pada peningkatan biaya produksi.
Situasi deindustrialisasi yang “prematur” ini perlu mendapatkan perhatian serius. Karena struktur ekonomi yang bergeser sebelum industrialisasi mencapai potensi sepenuhnya, dan ketika deindustrialisasi terjadi terlalu cepat (dini). Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis seperti:
Tanpa perbaikan ini, Indonesia berisiko mengalami krisis energi yang akan mnelemahkan daya saing industri, meningkatkan pengangguran secara masif dan relokasi industri padat energi dan modal ke negara lain.
Untuk jangka panjang, Indonesia perlu menjaga cadangan gas alam sebagai warisan energi untuk generasi mendatang.
“Alih-alih menjual cadangan gas domestik dalam jangka pendek, Indonesia dapat memanfaatkan peluang kontrak jangka panjang dengan negara lain guna menjamin pasokan domestik.”
Sikap ini bukan berarti mengesampingkan Kedaulatan Energi, melainkan upaya cerdas dalam mengelola portofolio energi nasional.
Mandiri Energi tidak berarti harus mengandalkan sumber daya energi sendiri atau “mengharamkan” impor. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura tidak memiliki cadangan gas alam yang besar, tetapi mereka berhasil mandiri energi karena memiliki modal, teknologi, dan sumber daya manusia yang unggul.
Baca juga: Bahlil Tinjau Operasi Hulu Migas PHM, Tegaskan Komitmen Tingkatkan Produksi Energi Nasional
Indonesia perlu segera menyusun peta jalan (roadmap) energi yang jelas dan realistis, memperkuat investasi dan pembangunan infrastruktur gas, termasuk energi terbarukan.
Keterlambatan pembangunan infrastruktur pipa dan terminal LNG domestik, serta kurangnya insentif eksplorasi dan investasi gas akan menyeret Indonesia ke dalam "krisis senyap" (silent crisis).
Lucu rasanya jika kita punya cadangan gas berlimpah, tapi industri harus gigit jari karena pembangunan infrastruktur dan logistik energi belum sempat diseriusi.
Rasanya seperti menanam padi tapi malah keburu lapar: cadangan tersedia, namun tak kunjung bisa dimanfaatkan karena pembangunan infrastruktur masih dalam tahap wacana.
Pada akhirnya, cadangan gas hanya menjadi hiasan statistik, sementara industri tersandera oleh sistem distribusi energi yang tertera di dalam dokumen saja.
Sehingga, kita hanya sekadar menjadi penonton di tengah potensi Surplus Gas yang Semu...
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya