Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Agustiawan

Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014

Surplus Gas yang Semu

Kompas.com, 7 Mei 2025, 07:30 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, optimistis Indonesia tidak akan mengalami defisit gas antara 2025–2035, karena akan ada peningkatan produksi gas.

Namun, data lain menunjukkan kemungkinan defisit di beberapa wilayah pada periode tersebut. Hal ini menciptakan ketidakjelasan antara surplus dan defisit gas.

Menurut Menteri ESDM, peningkatan produksi gas nasional diharapkan akan dimulai pada tahun 2026–2027, terutama dari proyek-proyek yang dikelola oleh perusahaan seperti Eni dan Mubadala Energy. Pemerintah menegaskan bahwa impor gas hanya dilakukan dalam kondisi darurat.

Baca juga: Kiriman LNG Baru Tiba, Gas Bumi untuk Jawa-Sumatera Terjaga

Sebaliknya, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) memproyeksikan defisit gas di beberapa wilayah seperti Sumatera dan Jawa Barat, mencapai puncaknya pada 2035 dengan defisit sekitar 513 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) .

Kondisi Neraca Gas Indonesia

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2025. Laporan Kinerja Tahun 2024 Neraca Gas Indonesia 2024-2033

Neraca Gas Indonesia periode 2024–2033

Proyeksi Neraca Gas Indonesia (NGI) 2024–2033 memperkirakan kebutuhan gas akan stabil hingga tahun 2033.

Namun, penurunan produksi gas dari sumur-sumur tua menjadi tantangan utama, sehingga pasokan saat ini hanya cukup memenuhi kebutuhan kontrak yang ada (contracted demand), tetapi tidak mencukupi permintaan yang lebih luas (committed & potential demand).

Potensi surplus gas diprediksi jika proyek di lapangan gas seperti Blok Masela, Indonesian Deepwater Development (IDD), dan Andaman sukses beroperasi.

Surplus ini diperkirakan mencapai 1.715 MMSCFD dalam sepuluh tahun ke depan dan memungkinkan ekspor LNG.

Namun, menurut lembaga riset Wood Mackenzie, tanpa percepatan pengembangan proyek-proyek baru dan peningkatan investasi, Indonesia akan menghadapi defisit gas pada 2033.

“Sehingga, meskipun pemerintah optimis terhadap potensi surplus gas, namun tanpa langkah-langkah strategis yang tepat, Indonesia berisiko mengalami defisit gas dalam satu dekade ke depan.”

Tantangan Utama Sektor Gas

Ada tiga tantangan utama dalam pengelolaan gas nasional: Penurunan produksi sumur-sumur gas, Investasi terbatas, dan Infrastruktur yang kurang.

Mayoritas sekitar 90 persen produksi gas nasional berasal dari ladang-ladang gas tua, yang secara alami telah mengalami penurunan produksi dari waktu ke waktu, karena cadangan gasnya semakin berkurang.

Baca juga: Krisis Gas di Tengah Ambisi Hijau

Regulasi yang kompleks serta kurangnya kebijakan insentif menyebabkan investor menjadi tidak atau kurang tertarik untuk mengeksplorasi ladang-ladang gas baru. Hal ini membuat produksi gas baru sulit untuk ditingkatkan.

Ketersediaan infrastruktur gas masih sangat terbatas, terutama di wilayah timur Indonesia. Hambatan geografis, seperti kondisi alam dan lokasi ladang gas yang berada di laut dalam serta di daerah terpencil, semakin menyulitkan pembangunan dan pengoperasian jaringan distribusi gas yang efektif.

Indeks Ketahanan Energi vs Realitas Ekonomi

Dewan Energi Nasional (DEN) melaporkan Indeks Ketahanan Energi (IKE) Indonesia tahun 2023 sebesar 6,64 (kategori "tahan"). Penilaian ini berdasarkan empat aspek (4A): Availability (Ketersediaan) Accessibility (Aksesibilitas), Affordability (Keterjangkauan) dan Acceptability (Penerimaan).

Namun, kategori ini patut dipertanyakan karena konsumsi energi per kapita masyarakat Indonesia masih rendah, baik dalam bentuk BBM, BBG maupun Listrik. Sehingga, kategori “tahan” di atas menjadi diragukan atau “semu” (pseudo).

Sebagai perbandingan, konsumsi listrik Indonesia kini sekitar 1.400 kWh per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (9.576 kWh), Malaysia (5.404 kWh), Thailand (3.067 kWh), dan (bahkan) Vietnam (2.507 kWh).

Rendahnya konsumsi energi ini diperparah oleh fenomena deindustrialisasi yang terjadi sebelum Indonesia benar-benar menjadi negara industri. Hal ini ditandai dengan penurunan kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Baca juga: Potensi Ekonomi Industri Manufaktur Energi Terbarukan Rp 8.824 triliun, 40 Persen PDB

Kontribusi industri terhadap PDB menurun drastis dari 27,8 persen (2008) menjadi 18,67 persen (2023). Penurunan ini mencerminkan melemahnya peran sektor industri dalam perekonomian nasional.

Banyak penutupan atau relokasi pabrik ke negara tetangga karena biaya energi di Indonesia lebih mahal.

Penghentian pabrik-pabrik ini telah berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ratusan ribu pekerja.

Menurut IMF, Indonesia kini memiliki tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN (5,2 persen) per April 2024. Sementara, Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand memiliki angka pengangguran lebih rendah dari Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan AS dan Inggris sekalipun.

Dampak Harga Gas pada Industri

Harga gas industri di Indonesia adalah yang termahal di ASEAN. Sebagai perbandingan, harga di Malaysia adalah 4,5 dollar AS, Thailand 5,5 dollar AS, dan Vietnam 6,39 dollar AS per MMBtu.

Melalui Perpres No. 121/2020, pemerintah telah menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar 6 dollar AS/MMBtu untuk industri tertentu.

Peraturan HGBT ini kemudian diperpanjang selama lima tahun ke depan melalui Kepmen ESDM No. 76.K/MG.01/MEM.M/2025.

Dalam keputusan ini, HGBT ditetapkan naik menjadi 6,5 dollar AS per MMBtu untuk industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, dan 7 dollar AS per MMBtu untuk industri yang menggunakan gas sebagai bahan bakar.

Dalam pelaksanaan kebijakan ini terjadi beberapa masalah, antara lain kuota yang tidak terpenuhi, biaya tambahan (surcharge) dan penurunan pasokan gas domestik.

Beberapa industri melaporkan bahwa kuota gas yang diterima hanya sekitar 60–75 persen dari kebutuhan mereka.

Setelah kuota HGBT habis, industri harus membeli gas dengan harga pasar yang lebih mahal hingga tiga kali lipat dari HGBT. Kenaikan harga ini sudah pasti akan menambah beban biaya produksi.

Baca juga: Pemerintah Ubah Skema Harga Gas Industri, Ini Rinciannya

Penurunan pasokan gas dari Sumatera Selatan dan Tengah ke Jawa Barat sebagai pusat industri nasional telah menyebabkan kesulitan pemenuhan kebutuhan gas untuk industri di wilayah tersebut.

Kebijakan tersebut telah menyebabkan industri non-HGBT terpaksa membeli gas dengan harga pasar yang lebih tinggi, seperti LNG spot, yang berdampak pada peningkatan biaya produksi.

Solusi untuk Mengatasi Krisis Gas

Situasi deindustrialisasi yang “prematur” ini perlu mendapatkan perhatian serius. Karena struktur ekonomi yang bergeser sebelum industrialisasi mencapai potensi sepenuhnya, dan ketika deindustrialisasi terjadi terlalu cepat (dini). Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis seperti:

  1. Pembangunan jaringan pipa gas antar wilayah: Mengatasi ketimpangan wilayah yang surplus dan defisit gas.
  2. Reformasi kebijakan HGBT: Pastikan kuota tepat sasaran dan menghindari distorsi harga gas.
  3. Insentif eksplorasi gas: Khususnya di wilayah terluar dan timur Indonesia.
  4. Penguatan peran BUMN dan Swasta: Dalam pengelolaan distribusi gas skala kecil dan menengah.
  5. Kontrak Jangka Panjang LNG: Dengan negara mitra untuk menjamin pasokan gas domestik yang stabil.

Tanpa perbaikan ini, Indonesia berisiko mengalami krisis energi yang akan mnelemahkan daya saing industri, meningkatkan pengangguran secara masif dan relokasi industri padat energi dan modal ke negara lain.

Peta Jalan Energi

Untuk jangka panjang, Indonesia perlu menjaga cadangan gas alam sebagai warisan energi untuk generasi mendatang.

“Alih-alih menjual cadangan gas domestik dalam jangka pendek, Indonesia dapat memanfaatkan peluang kontrak jangka panjang dengan negara lain guna menjamin pasokan domestik.”

Sikap ini bukan berarti mengesampingkan Kedaulatan Energi, melainkan upaya cerdas dalam mengelola portofolio energi nasional.

Mandiri Energi tidak berarti harus mengandalkan sumber daya energi sendiri atau “mengharamkan” impor. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura tidak memiliki cadangan gas alam yang besar, tetapi mereka berhasil mandiri energi karena memiliki modal, teknologi, dan sumber daya manusia yang unggul.

Baca juga: Bahlil Tinjau Operasi Hulu Migas PHM, Tegaskan Komitmen Tingkatkan Produksi Energi Nasional

Indonesia perlu segera menyusun peta jalan (roadmap) energi yang jelas dan realistis, memperkuat investasi dan pembangunan infrastruktur gas, termasuk energi terbarukan.

Keterlambatan pembangunan infrastruktur pipa dan terminal LNG domestik, serta kurangnya insentif eksplorasi dan investasi gas akan menyeret Indonesia ke dalam "krisis senyap" (silent crisis).

Lucu rasanya jika kita punya cadangan gas berlimpah, tapi industri harus gigit jari karena pembangunan infrastruktur dan logistik energi belum sempat diseriusi.

Rasanya seperti menanam padi tapi malah keburu lapar: cadangan tersedia, namun tak kunjung bisa dimanfaatkan karena pembangunan infrastruktur masih dalam tahap wacana.

Pada akhirnya, cadangan gas hanya menjadi hiasan statistik, sementara industri tersandera oleh sistem distribusi energi yang tertera di dalam dokumen saja.

Sehingga, kita hanya sekadar menjadi penonton di tengah potensi Surplus Gas yang Semu...

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Menjaga Bumi Nusantara Melalui Kearifan Lokal
Menjaga Bumi Nusantara Melalui Kearifan Lokal
Pemerintah
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Pemerintah
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
LSM/Figur
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pemerintah
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Pemerintah
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Pemerintah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Pemerintah
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
LSM/Figur
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
LSM/Figur
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
Pemerintah
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
LSM/Figur
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
Pemerintah
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
Pemerintah
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
LSM/Figur
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau